Connect with us

Bahaya Takfiri Bagi Penuduhnya

Artikel

Bahaya Takfiri Bagi Penuduhnya

Sebagaimana disampaikan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin, takfiri (gemar mengkafirkan sesama muslim) adalah bahaya bagi keutuhan agama (Islam) dan bangsa. Lebih jauh, yang sangat memprihatinkan adalah mereka yang takfiri itu bahkan seolah tak sadar bahwa sikap mengkafirkan bisa bahaya pada diri mereka sendiri. Mengapa?

Sebab, yang dikafirkan belum tentu ia benar-benar kafir. Menuduh seseorang kafir sama sekali tak membuat orang yang dituduh berarti kafir. Logikanya sederhana: dituduh binatang sama sekali takkan membuat yang dituduh berubah jadi binatang.

Al-Qur’an menegaskan dalam QS. An-Nahl: 125 bahwa pengetahuan tentang siapa yang benar-benar sesat adalah milik Allah. Bahkan, Nabi ‘pun hanya menyampaikan, sedangkan pengetahuan sejati hanya milik-Nya (QS. Al-Maidah: 99). Oleh karena itu, dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi hanya menyampaikan tudingan sesat dan kafir pada siapa yang dituding-Nya melalui wahyu pada Nabi. Artinya bahwa selain Allah, bahkan Nabi sekali ‘pun tak diberi atau memiliki otoritas untuk mengkafirkan. Itu murni dan sepenuhnya hak Allah.

Dari sahabat Nabi, Abu Dzar al-Ghifari, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahih-nya di dua tempat: Kitab Al Manaqib, Bab Nisbatul Yaman Ila Isma’il dalam hadis nomor 3317 dan Kitab Al Adab, Bab Ma Yanha Minas Sibab Wal La’ni dalam hadis nomor 5698 dan Imam Muslim dalam shahih-nya: Kitab Al Iman, Bab Bayan Hali Iman Man Raghiba An Abihi Wahua Ya’lam dalam hadis nomor 214, dia mendengar Nabi bersabda: “… Barangsiapa yang mengaku sesuatu yang bukan haknya, berarti dia tidak termasuk golongan kami dan hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka.” Mengkafirkan adalah hak Allah, bukan hak kita. Maka, bahaya takfiri adalah justru membuat penuduhnya menempati api neraka.

Lanjutan dari hadis di atas: “Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.” Dalam hadis lain dari Abu Dzar dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari: ”Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiq, dan menuduhnya dengan kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan.” Maka, bahaya selanjutnya dari sikap takfiri adalah justru membuat penuduhnya ‘lah yang benar-benar kafir. Naudzubillah!

Islam mempersilahkan setiap umatnya berbeda pendapat, pandangan, rujukan, mazhab, dll. Namun, jangan sampai mengkafirkan. Sejarah Islam mencatat, dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari seorang sahabat yang sekaligus cucu angkat Nabi, Usamah bin Zaid bin Haritsah. Ketika Nabi mengutus para sahabatnya, termasuk Usamah untuk memerangi orang-orang kafir dari marga Huraqah, bagian dari suku Juhainah. Saat itu umat Islam menang. Usamah dan seorang sahabat Ansar mengejar seorang anggota Bani Huraqah yang melarikan diri. Ketika keduanya mengepungnya, tiba-tiba ia mengucapkan syahadat. Sahabat Ansar itu ‘pun menahan dirinya. Adapun Usamah menusuk orang tersebut dengan tombaknya hingga menewaskannya. Ketika tiba di Madinah dan berita itu sampai pada Nabi, Nabi bertanya, “Wahai Usamah, apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia ber-syahadat?” Usamah menjawab, “Wahai Nabi, ia mengucapkannya sekedar untuk melindungi dirinya.” Kemudian Nabi terus mengulang pertanyaan itu beberapa kali, sehingga Usamah berangan-angan andai saja ia belum masuk Islam sebelum hari itu, sehingga ia terbebas dari dosa besar yang mengundang marah Nabi tersebut.

Syahadat adalah komitmen dan ekspresi keislaman. Begitu ia terucap dari bibir seseorang, maka ia adalah muslim, dan oleh karenanya ia adalah saudara kita sebagai sesama muslim. Kehormatan, harta, dan darahnya harus kita lindungi. Bukan justru kita tuduh dengan tuduhan-tuduhan keji: fasiq, kafir, munafik, dll yang itu hak Allah. Hanya Allah yang tahu dan berhak menghukum isi hatinya. Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkata: “Dulu ketika Nabi masih hidup, untuk menilai apakah orang itu munafik atau tidak itu dijawab dengan turunnya wahyu Allah. Tetapi setelah Nabi wafat, maka untuk menilai seseorang itu beriman atau tidak hanya bisa dilihat dari yang tampak lahirnya bukan batinnya. Sebagaimana sabda Nabi: “Kita hanya menghukum apa yang tampak, dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati.” Tidak boleh memvonis keyakinan dan kepercayaan orang lain sepanjang masih memperlihatkan keislamannya.”

Maka, mari berhenti mengkafirkan sesama muslim dan merevolusinya menjadi rangkulan dalam ukhuwah Islamiyah (persaudaraan keislaman). Jika kita melihat kemungkaran atau bahkan kesesatan, secara logis dan sesuai hukum, tugas kita adalah mengingatkan dan meluruskan, bukan menghujat dan mengkafirkan. Wallahu a’lam!

 

Print Friendly, PDF & Email
Continue Reading
Husein Ja'far Al Hadar

Sarjana, Peneliti, dan Penulis Keislaman.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in Artikel

To Top