Connect with us

Kapitalisasi Haji dan Umroh

Sumber gambar: https://lkpnoeralita.wordpress.com/galeri-mahar/mahar-3-dimensi/mahar-kabah-koin-3-dimensi-di-surabaya/

SUARA

Kapitalisasi Haji dan Umroh

Kapitalisme tidak hanya bersemayam di ranah ekonomi, tapi juga sudah masuk ke domain agama. Haji dan umroh merupakan salah satu sektor di agama Islam yang telah terjangkiti ideologi akumulasi modal itu.

Pada level ideal, haji dan umroh adalah pelajaran untuk bersikap sederhana dan egaliter. Setiap pelaku haji dan umroh pria, misalnya, diharuskan memakai kain putih tak berjahit, tanpa menutupi kepala dan mata kaki.

Sekaya apapun pria yang berhaji atau berumroh tidak boleh mengenakan topi, stelan jas dan sepatu. Dalam haji dan umroh, presiden dan rakyat berkedudukan sama, begitu juga triliuner dan jutawan.

Sebab, salah satu inti ajaran haji dan umroh adalah tuntunan menjadi orang  bersahaja dan menyetarakan umat manusia. Apakah pelaksana haji dan umroh menjalankan pedoman itu saat dan setelah ibadah tersebut?

Sebagian mereka berusaha menjalani sisi zahir dan batin haji dan umroh, lalu berupaya memanifestasikan saripati dua ibadah itu sesudahnya. Ada yang sebelum haji memakai peci hitam dan batik, lalu tetap berpakaian sedemikian rupa, tanpa berganti peci putih dan jubah, supaya tetap sama dengan orang-orang di lingkungannya yang hampir semuanya belum haji.

Ada yang justru enggan memakai gelar haji, bahkan menghapus gelar itu di kartu identitas, dan tak mau disebut haji. Selain karena ingin tetap egaliter, dia sadar bahwa sebutan “al-hâj (haji)” hanya berlaku saat pelaksanaan haji, lalu tak berlaku setelahnya.

Lagi pula, dia tahu bahwa atribut “haji” bagi orang Nusantara yang telah berhaji diberikan pertama kali oleh penjajah Belanda untuk menandai orang yang potensial menjadi pemberontak pasca Perang Diponegoro.

Penghapusan gelar haji dan penanggalan peci putih dan jubah itu hanya sekelumit manifestasi mereka melaksanakan intisari haji dan umroh. Selebihnya, orang-orang tersebut tetap religius sekaligus ugahari dan egaliter, sesuai dengan tuntunan haji dan umroh.

Sayangnya, tak semua orang yang terlibat dalam haji dan umroh bersikap semacam itu. Sebagian orang melaksanakan haji dan umroh untuk mendapatkan modal sosial, sebagian lain menyelenggarakan ibadah tersebut untuk mengakumulasi modal ekonomi. Di titik itulah haji dan umroh dikapitalisasi.

Ada orang yang berangkat haji untuk disebut sebagai “haji”, dan tersinggung bila ada orang yang memanggil namanya tanpa “gelar” itu. Pada orang semacam itu, ibadah haji merupakan tindakan untuk menambah modal sosial.

Peminat haji dan umroh kian hari kian marak. Para pengusaha melihat fenomena itu sebagai lahan bisnis, sehingga travel haji dan umroh pun berkembang biak. Di mata mereka, haji dan umroh adalah arena untuk melipatgandakan modal ekonomi.

Mencari uang dari haji dan umroh sah-sah saja. Ingin dipanggil haji juga boleh-boleh saja. Tapi, haji dan umroh sejatinya bukan untuk memburu duit dan meraih gelar.

Ibadah yang dimulai sejak zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail itu terutama sekali ditujukan untuk mengagungkan Tuhan sekaligus merendahkan diri bersama sesama manusia. Jika tujuan itu tidak mengejawantah pada pihak-pihak yang terlibat dalam haji dan umroh, maka yang dilaksanakan itu perlu ditinjau ulang.[]

Print Friendly, PDF & Email
Zainul Maarif

Dosen dan Peneliti di bidang Filsafat dan Agama. Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini telah mempublikasikan beberapa buku: "Kosmologi dan Sirah Nabi versi Ibnu Arabi: Ulasan atas Syajarah Al-Kawn" (2019), "Fathurrabbani Syekh Abdul Qadir Al-Jailani" (2018), "Ar-Risalah Imam Syafi'i" (2018), "Kitab Kebijaksanaan orang-orang Gila" (2017, 2019), "Logika Komunikasi" (2015, 2016), "Rahasia Asmaul Husna Ibnu Arabi" (2015), "Retorika: Metode Komunikasi Publik" (2014, 2015, 2017, 2019), "Pos-Oksidentalisme: Identitas dan Alteritas Pos-Kolonial" (2013), "Filsafat Yunani" (2012), "Surga Yang Allah Janjikan" (2011), "Pos-Oksidentalisme: Dekonstruksi atas Oksidentalisme Hassan Hanafi" (2007), "Sosiologi Pemikiran Islam" (2003), "Dekonstruksi Islam: Elaborasi Pemikiran Hassan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zaid" (2003).

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in SUARA

To Top