Connect with us

Doa: Antara Adab dan Politisasi

SUARA

Doa: Antara Adab dan Politisasi

Mengapa kita berdoa? Murni dan mutlak hanya benar-benar karena Allah memerintahkannya. Firman-Nya dalam QS. Ghafir: 60: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” Kita tak mau masuk dalam golongan orang-orang yang sombong, sehingga tetap selalu menggantungkan segalanya pada ujungnya ke Allah. Adapun jika tak Allah perintahkan, bisa jadi kita tak pantas berdoa. Karena Allah Maha Mengetahui tentang apa yang ada dalam diri kita: keinginan, ketakutan, curahan hati, dll.

Oleh karena itu, doa begitu sakral. Ia adalah “perbincangan” kita dengan Allah. Sehingga, berdoa perlu adab. Berbincang dengan manusia yang lebih muda atau lebih bawah dari kita saja ada adabnya dalam Islam. Apalagi “berbincang” dengan Sang Pencipta. Lebih-lebih “perbincangan” itu adalah dalam konteks kita sedang memohon padanya. Memohon pada Pak RT saja jika tak dibekali adab, pastilah kita diabaikannya.

Di antara adab berdoa adalah, sebagaimana disindir dalam hadis qudsi: “Hamba-Ku, apakah memang perbuatanmu, menyuruh Aku tetapi perhatianmu ke kanan dan ke kiri. Kemudian kau berbicara dengan sesama hamba-Ku yang lain. Kau mengerahkan seluruh perhatianmu kepadanya dank au tinggalkan Aku?” Artinya adalah, dalam doa, butuh sebuah fokus hanya pada Allah, yang kita mohonkan doa itu. Jangan sekali-kali, satu per-sekian detik ‘pun teralihkan pada selain-Nya. Oleh karena itu, doa-doa orang-orang yang saleh cenderung dipanjatkan di malam hari, dalam kesendirian untuk memastikan fokus itu tak terganggu oleh apapun. Oleh karena itu, berdoa di depan para pejabat dengan berbagai pandangan politik yang berbeda dengan kita, atau yang bahkan kita benci di antara mereka, sungguh adalah tantangan yang berat.

Sungguh tak beradab jika kita berdoa, namun fokus kita adalah manusia. Sumbernya adalah kemarahan pada manusia, lalu kita sembari berdoa dengan fokus pada kemarahan itu, meminta Allah “turun tangan” memfasilitasi kemarahannya itu dengan murka-Nya. Atau pula sekadar menyindir. Karena itu berarti adalah hilangnya fokus pada selain-Nya.

Ada begitu banyak dan ragam ayat yang mengabadikan doa-doa para nabi. Di mana tentu ia adalah munajat terbaik yang patut kita teladani. Dan dari sanalah kita juga bisa belajar adab dalam berdoa. Di antaranya adalah menghindarkan diksi-diksi bermuatan perintah. Karena dalam doa kita sedang memohon: yang di bawah pada Yang di Atas. Tak rasional jika ada diksi perintah. Oleh karena itu, ketika dilanda derita, Nabi Ayyub tak berdoa dengan diksi perintah untuk diberi kesembuhan. Begitu pula dengan Nabi Ibrahim ketika sakit, beliau tak berdoa dengan perintah seperti: “Karena Engkau yang menimpakan sakit kepadaku, maka sembuhkanlah aku.” Melainkan Nabi Ibrahim berdoa: “Apabila aku sakit, Dialah yang memberikan kesembuhan.”

Adab doa yang lain adalah penuh kerendahan hati, bahkan diri. Jangan sampai ada diksi sedikit ‘pun bernada kesombongan: kita benar dan dia salah. Seperti yang diajarkan Nabi Adam dalam doanya: Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Sekiranya Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”

Adab selanjutnya adalah tidak spesifik mengungkapkan apa yang kita inginkan, seolah kita mendikte Allah. Melainkan tetap mengembalikan segalanya pada Allah. Sebab, Dia Yang Maha Tahu tentang apa yang terbaik bagi kita, sedangkan kita bisa jadi sebaliknya, seperti disindir dalam QS. Al-Baqarah:216: “Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” Oleh karena itu, tak tepat jika spesifik dalam berdoa, karena bisa jadi sesuatu yang kita mohonkan adalah yang buruk bagi kita dan yang kita panjatkan untuk dihindarkan dari diri kita adalah sebenarnya yang terbaik bagi kita.

Kita sering mendengar doa-doa dalam berbagai acara resmi isinya rangkaian perintah kepada Allah. Maklum, biasanya yang berdoa adalah para pejabat sehingga dia menganggap Allah sebagai salah satu anak buahnya. Yang terbaru adalah yang dilantunkan oleh Tifatul Sembiring dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan. Di antara petikan doanya: “Berilah petunjuk kepada Presiden Bapak Joko Widodo. Gemukkanlah badan beliau karena kini terlihat makin kurus.” Doa tersebut tidak salah, hanya kurang beradab. Ia juga, sebagaimana nyatanya saat ini, alih-alih menentramkan, justru memicu kontroversi. Bertentangan dengan filosofi sebuah doa yang harusnya menentramkan. Dan seharusnya Tifatul Sembiring tahu itu karena “doa politis” semacam itu bukan sekali ini dilakukan pejabat dan selalu memicu kontroversi. Maka, lain kali, tak elok mempolitisasi doa, sebagaimana tak benarnya mempolitisasi masjid.

Print Friendly, PDF & Email
Continue Reading
You may also like...
Husein Ja'far Al Hadar

Sarjana, Peneliti, dan Penulis Keislaman.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in SUARA

To Top