Connect with us

Falsafah Haji: Bersatu dalam “Ihram”

Ensiklopedi

Falsafah Haji: Bersatu dalam “Ihram”

Setelah kita “Memurnikan Niat” di Tanah Air sebelum berhaji, saat memasuki Miqat, jamaah haji harus melepas pakaian dan menggantinya dengan dua helai kain putih yang masing-masing dililitkan di bahu dan pinggang. Itulah yang disebut dengan “ihram”.

Ihram merupakan tahap pertama dari rangkaian ritual haji. Di sini, jamaah haji akan memulai tahap revolusi dirinya melalui haji. Karenanya, ia harus melepaskan pakaiannya. Sebab, pakaian kerap menutupi diri dan watak manusia atau yang populer dengan istilah “pencitraan”. Dan, saat haji, saat jamaah haji hendak menghampiri Allah, ia harus tampil sejujur-jujurnya.

Pakaian adalah simbol latar belakang, status, kelompok, dan berbagai perbedaan di antara sesama manusia. Si kaya dengan pakaian mahalnya, pejabat dengan pakaian berpangkat di bahunya, si nigkat dengan pakaian khususnya, dll. Pakaian sebagai simbol itulah yang mengkotak-kotakkan manusia dalam berbagai macam perbedaan yang kemudian memicu kecemburuan, perpecahan dan bahkan hingga pertengkaran. Maka, jauhkan pakaian dari dirinya saat berhaji.

Pakaian itu pula yang menimbulkan egoisme (ke-aku-an) dalam diri manusia dan pelecehan terhadap manusia lain. Egoisme itu tersimbolisasi oleh pakaian; aku si kaya, aku si ningrat, aku dari ras ini dan itu, aku dari kelompok sini dan situ, serta aku-aku lainnya.

Saat hendak menghampiri-Nya dalam haji, tak ada lagi aku. Yang ada adalah kami. Kami manusia, tanpa perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Kami ciptaan-Mu. Kami yang hina. Kami yang tak pernah luput dari salah dan dosa. Kami yang terbuat dari sperma dan akan mati menjadi bangkai. Tak ada lagi harta, tahta dan semua kebangaan semu itu.

Singkatnya, ihram merupakan simbolisasi evolusi manusia dari aku menjadi kami, dari yang semu ke yang abadi, dari yang terselubung menjadi “telanjang”.

Kain yang dipakai dalam ihram adalah kain putih, persis seperti kain yang akan dipakai oleh manusia saat wafat nantinya. Karenanya, ihram juga momentum untuk mengingat dan menyadari kembali bahwa manusia hidup di dunia bukan untuk terus hidup di dunia dengan segala kebanggaan semu-nya, baik harta, tahta maupun apa saja. Namun, mereka hidup untuk mati dan menjalani kehidupan setelah kematian. Sebenar-benarnya kehidupan. Sebab, menurut para sufi, di dunia ini sebenarnya kita mati dan kita baru benar-benar hidup nanti saat kita mulai menjalani kehidupan akhirat. Karenanya, saat dan setelah mengingat dan menyadari itu, maka diharapkan manusia tak menjalani kehidupannya kecuali untuk mempersiapkan kehidupan yang sebenarnya di akhirat nanti.

Saat itu, jamaah haji sudah berpakaian dengan kain yang sama, di tempat yang sama dan dalam waktu yang sama. Tak ada lagi segala ke-semu-an yang membeda-bedakan manusia. Tak ada lagi yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Semuanya menjadi satu kesatuan: presiden dengan rakyatnya, si kaya dan si miskin, dll. Setiap orang hanya menjadi satu partikel di antara jutaan partikel di medan magnet. Ia pun menjadi sadar akan kecilnya dirinya di tengah-tengah umat manusia, apalagi ciptaan Allah seluruhnya.

Saat itulah, dengan pakaian ihram, dengan kesamaan, kesetaraan dan tanpa adanya lagi ego, seorang jamaah haji menyatu dan melebur menjadi satu menjadi gelombang manusia yang datang dengan latar belakang dan tujuan yang sama, serta kesadaran yang sama pula. Mereka melebur menjadi satu kesatuan yang dalam Islam disebut “ummah” yang berlandaskan pada satu asas, yakni tauhid. Mereka datang dan menyatu untuk satu tujuan, yakni menghampiri Allah. (Baca: “Falsafah Haji: Wukuf dan Dzikir Keterciptaan“)

Akhirnya, ketika menyadari itu semua, lalu kata Allah dalam Qur”an, “Mengapa engkau (masih) berjalan di atas bumi dengan sombong?” Dan di ayat yang lain, Dia berfirman, “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya.” Dan saat itu juga adalah salah satu ajang pembuktian pertunjukan kekuasaan-Nya, sebelum ditunjukkan seutuhnya di akhirat nanti, sesuai firmannya, “Setiap hari Dia menunjukkan kekuasaan.”. Akhirnya, “Sesungguhnya kita dari-Nya dan kepada-Nya ‘lah kita akan kembali.” Itulah rententan kesadaran yang harus dipetik oleh setiap jamaah haji dalam ihram.

Maka, sepulangnya dari haji, pelajaran makna dari ihram: jangan lagi menganggap diri tinggi dan sombong lantaran jabatan, harta, kelas sosial, ras, dll. Jangan lagi memilah dan memilih-milih manusia berdasarkan jabatan, harta, kelas sosial, ras, dll. Kita adalah satu. Jika bukan satu sebagai sesama Muslim, satu sebagai sesama manusia, seperti kata Sayyidina Ali.

Print Friendly, PDF & Email
Husein Ja'far Al Hadar

Sarjana, Peneliti, dan Penulis Keislaman.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in Ensiklopedi

To Top