Connect with us

Falsafah Haji: Murnikan “Niat”

Ensiklopedi

Falsafah Haji: Murnikan “Niat”

Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, di mana ia bisa sia-sia (bahkan dikutuk oleh Allah) jika tak dihayati hingga aspek makna (substansi) dari ibadah tersebut, sebagaimana telah diurai dalam artikel sebelumnya berjudul Saleh Ritual, Saleh (Juga) Sosial-Nya”, begitu juga haji. Tanpa penghayatan, ia akan sia-sia hingga –naudzubillah- terkutuk. Kita takkan dapat apa-apa kecuali gelar “Haji” di nama. Atau, meminjam istilah Syariati, hanya akan kembali dari Tanah Suci dengan koper yang penuh (oleh cindera mata dan oleh-oleh), tapi hati yang kosong (dari makna berhaji). Artinya, hajinya tak mabrur.

Maka, kali ini akan coba diurai makna-makna di balik ritual-ritual dalam rangkaian ibadah haji dengan merujuk pada pengalaman Ali Syariati yang diungkapkannya secara indah dan tentunya mendalam dalam karyanya yang berjudul “Hajj”, di mana karya tersebut telah diterjemahkan oleh beberapa penerbit dan disarankan pada siapa yang akan berhaji untuk membacanya guna menjadi semacam “manasik” makna haji untuk mendampingi manasik ritual haji. Uraian ini akan dihadirkan dalam beberapa serial artikel bertajuk “Falsafah Haji”. Artikel ini akan memulainya dari menyelami makna “niat”. Sesuatu yang bisa jadi kalau ini Anda miliki, meskipun hingga akhir hidup Anda tak mampu berhaji karena ragam alasan, maka insyaAllah secara makna berarti Anda seperti orang yang telah berhaji dan mabrur.

Miqat atau Dzulhalifah merupakan titik awal untuk haji yang bermakna, bukan ritualistik semata. Mulai dari Miqat, jamaah haji akan melalui ritual demi ritual yang penuh makna hingga menyelesaikan ibadah hajinya dan “terlahir kembali” menjadi pribadi yang telah berevolusi menjadi manusia yang seutuhnya, dengan sifat kebinatangan yang telah ditiadakan dan diri yang telah dihiasi dengan kesempurnaan sifat-sifat Allah. (Baca: “Falsafah Haji: Murnikan Niat“)

Namun, sebelum itu semua, sebelum memasuki Miqat, ada sesuatu yang sangat penting dan mendasar. Sesuatu itu adalah niat. Jamaah haji harus mengingat, menyadari dan menegaskan niatnya. Ia harus mengingat dan menyadari latar belakang dan tujuannya dalam berhaji. Ia harus tahu dan sadar akan apa itu haji, mengapa ia berhaji dan apa yang ingin digapainya dalam haji? Sebab, “sesungguhnya segala pekerjaan (ibadah) tergantung pada niatnya,” kata salah satu hadis Nabi Muhammad. Jika ia lalai dalam niatnya, yakni dalam mengetahui dan menyadari latar belakang dan tujuan hajinya, maka ia tak ubahnya seorang yang tersesat, yang tak akan mendapatkan apa-apa dari ketersesatannya kecuali kebingungan. Ia akan bingung dengan semua ritual simbolik dalam haji. Dan, tak ada manfaat atau pahala bagi seseorang yang tersesat dan bingung.

Niat bagaikan bibit. Ia merupakan cikal bakal yang akan menentukan pohon yang akan tumbuh nantinya. Jika seseorang menanam bibit padi, maka mustahil akan memanen singkong. Begitu pula dengan haji. Jika seorang jamaah haji tak selalu sadar, apalagi salah dalam niat, maka mustahil ia dapat memanen makna, manfaat dan pahala dari hajinya. Karenanya, sebelum memutuskan untuk berangkat haji, yang perlu dibaca dan dipelajari oleh seorang jamaah haji bukan hanya buku manasik haji. Sebab, buku manasik hanyalah mengajarkan ritual, bukan makna, dari haji. Dan ritual hanyalah hanyalah simbol. Sedangkan di balik simbol itu ada makna yang sesungguhnya hakikat dan tujuan dari diwajibkannya ibadah itu.

Makna itulah yang seharusnya juga dipelajari dan diketahui secara penuh oleh calon jamaah haji. Tanpa itu, ia takkan pernah pulang dari Tanah Suci sebagai haji yang mabrur. Hanya raganya saja yang pergi ke Tanah Suci, namun batinnya tak pernah disucikan oleh ibadah haji. Ia hanya seorang haji simbolik, yang kepulangannya tak mengalami perubahan positif dalam dirinya serta tak memberi pengaruh positif pula bagi masyarakatnya. Itulah yang banyak kita temui di negeri ini, di mana beribu-ribu jamaah haji berangkat ke Tanah Suci setiap tahun, namun sangat sedikit perubahan yang kita rasakan di negeri ini setiap tahunnya. (Baca: “Falsafah Haji: Bersatu dalam Ihram“)

Lalu, apa yang harus disadari dalam niat itu?

Dalam niat, jamaah haji harus menyadari sepenuhnya bahwa dalam haji ia meninggalkan Tanah Air untuk menuju Tanah Suci, ia tinggalkan rumahnya untuk menuju “rumah Allah” (Baitullah), ia tinggalkan egoisme untuk berserah diri pada Allah, ia tinggalkan keterjajahan untuk memperoleh kemerdekaan, ia tinggalkan harta untuk dapatkan surga, ia tinggalkan segala derajat dan kedudukan untuk mencapai kesetaraan, ia tinggalkan kesendirian untuk menuju kebersamaan, dan ia tinggalkan kehidupan yang tak berarah untuk menuju kehidupan yang penuh bakti dan tanggung jawab. Dan ia lakukan itu semua atas panggilan cinta dalam hati terdalam. Cinta yang paling sejati dan abadi, yakni kecintaan pada Allah.

Dengan tulus dan atas nama cinta pada Allah, jamaah haji diharuskan berniat untuk meninggalkan segala sesuatu yang selama ini secara tak sadar pada hakikatnya telah menjerat mereka (harta, tahta, hawa nafsu, dll), dan pergi menuju satu titik sentral yang akan menjadi tempat kembali mereka, suatu keabadian, pusat segala sesuatu dan puncak dari kebahagiaan dan kesempurnaan. Untuk tahu dan sadar tentang ke-Maha Besaran-Nya, tentang siapa diri mereka, kenapa mereka diciptakan, apa yang harus mereka lakukan serta kemana tujuan mereka. “Dan Allah adalah tujuan perjalanan,” kata salah satu ayat Qur’an. Niat adalah “tiket masuk” ke Miqat!

Di antara beberapa fenomena “tergelincirnya” niat seorang jamaah haji adalah pertama, mereka yang berniat –secara sadar atau tidak- menjadikan haji justru untuk menegaskan status sosialnya. Di mana gelar “Haji” di namanya nantinya dijadikan simbol semata untuk tampak alim atau saleh. Bahkan, bisa jadi haji hanya dijadikan kedok untuk menutupi kebengisan diri atau mencuci uang yang didapat dari jalur yang tak halal. (Baca: “Falsafah Haji: Wukuf dan Dzikir Keterciptaan“)

Kedua, orang kaya yang berniat haji berkali-kali. Karena bisa jadi itu adalah bentuk egoisme yang sebenarnya justru harusnya dihabisi melalui ibadah haji. Sebab, kuota haji kita sangat tak berbanding dengan jumlah orang yang ingin berhaji. Sehingga seseorang yang berniat haji saat ini, baru akan berhaji sepuluh sampai lima belas tahun ke depan. Maka, jangan sampai hanya lantaran ego kita, kita berhaji berkali-kali dengan kelebihan uang yang kita punya, yang itu berarti mempersempit peluang orang lain yang belum pernah berhaji untuk berhaji. Nabi saja, meskipun memiliki kesempatan untuk berhaji tiga kali, beliau hanya berhaji satu kali dalam hidupnya. Begitu juga umrah, beliau hanya menjalankan umrah wajib sekali dan umrah sunnah tiga kali, meskipun beliau bisa melakukannya ribuan kali. Maka, kuncinya adalah tuluskan niat, kuatkan pengetahuan tentang ritual dan makna haji, lalu berhajilah sekali saja, sehingga dengan sekali haji dan umrah itu kita menjadi haji yang mabrur. Adapun kelebihan uang yang kita punya yang bisa saja kita gunakan untuk berhaji dan umrah berkali-kali, gunakanlah ia untuk meningkatkan kesalehan sosial kita dengan mensedekahkannya untuk orang miskin, yatim-piatu, pendidikan, dll.

Ketiga, berniat haji dengan memaksakan keadaan kita. Entah keadaan ekonomi atau fisik yang sebenarnya belum tergolong mampu. Kita jual ini dan itu untuk berhaji, sehingga sepulangnya kehidupan kita menjadi serba kesulitan. Sungguh, seperti difirmankan dalam QS. Al-Baqarah: 286, Allah tak ingin agama ini menjadi menyulitkan kita. Karenanya, syarat berhaji adalah “mampu”. Maka, jika haji dipaksakan (padahal sebenarnya kita tak mampu), hingga membuat kita sulit, sungguh ia telah gagal menjadi haji mabrur sejak niat. Selain ketiganya, masih banyak dan ragam “jebakan ketergelinciran” niat dalam haji. Waspadai itu sebelum berhaji.

Print Friendly, PDF & Email
Husein Ja'far Al Hadar

Sarjana, Peneliti, dan Penulis Keislaman.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in Ensiklopedi

To Top