Connect with us

Falsafah Haji: “Wukuf” dan Dzikir Keterciptaan

Ensiklopedi

Falsafah Haji: “Wukuf” dan Dzikir Keterciptaan

Salah satu makna terpenting yang harus dipetik oleh jamaah haji dalam ritual wuquf di Padang Arafah yakni merenungkan dan menghayati keterciptaan manusia hingga mereka menjadi umat di bumi ini. Oleh karena itu, perginya jamaah haji dari Makkah ke Arafah dinilai sebagai simbolisasi dari “innalillah” (sesugguhnya kita –manusia- adalah milik Allah). Adapun kembalinya mereka dari Arafah ke Makkah dinilai sebagai simbolisasi dari “inna ilaihi roji’n” (kepada-Nya ‘lah kita –manusia- kembali). Itulah konsep dasar dari penciptaan manusia dalam Islam yang harus selalu dan terus dimengerti, diingat dan dihayati oleh setiap Muslim. Sebab, konsep itulah yang bisa menyelamatkan hidup kita di dunia.

Dengan konsep itu, kita menjadi tahu tentang apa yang harus dilakukan di dunia ini. Tanpa konsep itu, kita akan merasakan kehidupan ini sebagai keterlemparan semata ke dunia, sehingga tak tahu dan bingung tentang apa yang harus dilakukan dalam kehidupan dunia ini. Akibatnya, banyak yang kemudian terjerumus dalam materialisme. Adapun jika kita berpegang pada konsep Islam tersebut, maka kita tahu bahwa kita hidup di dunia yang fana ini tak lain untuk mendapatkan bersyukur pada Allah atas penciptaan kita serta mempersiapkan diri untuk kembali pada-Nya dan menjalani kehidupan yang sebenarnya di akhirat nantinya. (Baca: “Falsafah Haji: Murnikan Niat“)

Sudah begitukah kehidupan dunia yang kita jalani? Itulah salah satu poin yang harus direnungkan oleh jamaah haji di tengah teriknya matahari Padang Arafah. Dan, hanya masing-masing dari mereka sendiri yang bisa menjawabnya.

Padang Arafah juga merupakan tempat bertemunya kembali Adam dan Hawa setelah keterlemparannya ke dunia dari “surga”. Itulah poin renungan jamaah haji selanjutnya, yang juga tentang penciptaan. Artinya bahwa Arafah merupakan saksi keterlemparan Adam ke dunia.

Adam merupakan nenek moyang semua manusia yang pernah Allah ciptakan di muka bumi ini. Dan, sebagaimana Adam, manusia bukanlah malaikat yang diciptakan tanpa nafsu. Seperti digambarkan oleh pelanggaran Adam terhadap larangan memakan buah “Khuldi”, setiap manusia memiliki nafsu yang selalu mengarahkannya pada pengingkaran terhadap ketentuan Allah. Namun, keberadaan nafsu itu juga penting sebagai tantangan yang menjadikan manusia kemudian lebih sempurna ketimbang malaikat. Sebab, manusia punya kebebasan. Mereka selalu dihadapkan pada pilihan; baik-buruk, benar-salah, jujur-bohong, rajin-malas, bijak-dholim, dan sseterusnya. Dan ketika akal yang dikaruniakan padanya mampu mengendalikan nafsunya, maka ia akan memilih pilihan yang tepat serta menjadi sosok yang agung melebihi malaikat.

Manusia terlempar ke dunia dengan perangkat yang sempurna, yakni akal sebagai pengontrol dan nafsu sebagai perangkat tantangan. Dunia adalah “medan pertempuran” antara daya tarik keduanya; akal dan nafsu. Pemenang sejati adalah manusia yang nafsunya bisa dikendalikan oleh akalnya. (Baca: “Falsafah Haji: Bersatu dalam Ihram“)

Nah, wuquf di Arafah merupakan momentum untuk merenungkan keterlemparan manusia ke dunia, mengkaji penyebab-penyebabnya dan diharapkan nantinya muncul tekad untuk kembali kepada Allah sebagai pemenang sejati.

Alhasil, wuquf di Padang Arafah merupakan momentum untuk berdzikir, baik secara lafdhi maupun maknawi. Secara maknawi, seperti dikemukakan di atas, dalam wuquf jamaah haji patut mengingat dan merenungkan kembali segala hal tentang keterciptaannya. Sebab, itulah masalah pertama dan utama setiap manusia yang patut dipecahkan; Dari manakita? Di mana kita? Dan, mau ke mana kita? Itulah visi dan misi kehidupan setiap manusia. Itulah yang akan menjadi penentu setiap gerak manusia di dunia dan nasibnya di akhirat nantinya.

Maka, dalam wuquf, berdzikirlah!

Print Friendly, PDF & Email
Husein Ja'far Al Hadar

Sarjana, Peneliti, dan Penulis Keislaman.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in Ensiklopedi

To Top