Connect with us

Israel, Yerusalem, dan Diplomasi Gus Dur

SUARA

Israel, Yerusalem, dan Diplomasi Gus Dur

Oleh: Munawir Aziz

Selama ribuan tahun, Yerusalem menjadi tanah yang bergolak. Ini tanah doa dan air mata, juga darah yang menggenang di sekujur sejarahnya. Yerusalem tanah sejarah para nabi, juga tumpah ruah penyesalan dan sengkarut kekusaan. Tanah ziarah bagi tiga agama: Yahudi, Nasrani, dan Islam ini menorehkan jejak nubuat perdamaian, sekaligus memancarkan catatan kelam permusuhan.

Di tengah isu panas Yerusalem dan konflik Israel-Palestina, kita teringat dengan langkah alm. Gus Dur. Sebagai salah satu pemimin dunia di masanya, Gus Dur sangat jernih dan terukur melakukan manuver-manuver diplomatik. Terkadang, langkah Gus Dur hanya dapat terpahami, jauh setelah beliau tiada. Banyak yang salah paham dengan langkah Gus Dur.

Diplomasi Perdamaian

Ketika menjadi Presiden Republik Indonesia, Gus Dur membangun komunikasi dengan pemerintah Israel. Secara diplomatik, Gus Dur memulai langkah komunikasi dengan membuka jalur dagang dengan pengusaha-pengusaha Israel. Sebelum Gus Dur menjadi presiden, jalur perdagangan ini memutar lewat Singapura. Oleh Gus Dur, jalur ini dipangkas langsung, dengan secara formal membuka jalur perdagangan antara Indonesia dan Israel.

Namun, Gus Dur dengan tegas tidak akan membuka kontak diplomatik dengan Israel, kecuali setelah berdirinya Palestina dan Israel bersedia mundur dari Dataran Tinggi Golan serta Libanon Selatan. Ketika itu, Gus Dur dibantu Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, yang memiliki jaringan luas dengan intelektual dan pemimpin di Timur Tengah. Alwi Shihab menyampaikan bahwa langkah Gus Dur sudah dipertimbangkan secara matang, dengan syarat yang tidak gratis.

Menurut Alwi, Gus Dur sudah mengajukan syarat yang mempertimbangkan emosi rakyat Palestina. “Dengan syarat, kita dilibatkan dalam proses perdamaian di Timur Tengah. Maksudnya, kita sebagai negara Muslim terbesar di dunia, ikut didengar,” terang Alwi Shihab, dalam catatan Kompas (25/10/1999).

Namun, sebelum membuka hubungan diplomatik dengan Israel, Gus Dur melakukan pertemuan dengan 16 duta besar negara-negara Arab, termasuk dengan Ribhi Y Awad, Dubes Palestina. Menurut Awad, Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum dikembalikannya seluruh wilayah Arab yang diduduki Israel, termasuk kawasan Dataran Tinggi Golan. Selanjutnya, Gus Dur menegaskan bahwa Indonesia juga mendorong Palestina mendapatkan kemerdekaan serta pengakuan dunia internasional.

Pada saat yang hampir bersamaan, Gus Dur juga memainkan manuver politik, dengan membuka poros ekonomi baru. Gus Dur merancang poros Jakarta-Beijing-Tokyo-New Delhi. Tujuannya, kerjasama regional ini mengukuhkan stabilitas politik dan ekonomi regional. Kawasan Asia menjadi stabil secara politik, bergairah secara ekonomi serta diperhitungkan di level geo-strategis dunia. Gus Dur memainkan kartunya, dengan mengajak pemimpin-pemimpin di Asia bergerak cepat, seraya membuka komunikasi dengan Israel. Ketika melakukan lawatan ke Singapura, Gus Dur meminta Perdana Menteri Lee Kuan Yew menjadi penasihat ekonomi. Gus Dur memahami simpul-simpul politik, ekonomi dan strategi intelijen, untuk melalukan manuver yang cantik.

Ketika berkunjung ke Amerika Serikat, dalam rangka berobat di John Moran Eye Sater (Salt Lake City), Gus Dur secara khusus bertemu dengan Bill Clinton. Di samping itu, Gus Dur juga bertemu dengan pelobi Yahudi, melakukan misi diplomatik. Pertemuan-pertemuan ini menjadi bagian dari catatan diplomatik Gus Dur, dalam kerangka politik, ekonomi dan perdamaian (Panji, No. 30 Tahun III/17 Nopember 1999).

Shimon Peres (1923-2016), mengagumi strategi dan langkah taktis Gus Dur. Di hadapan jurnalis, pada akhir Maret 2016 lalu di Tel Aviv, Shimon Peres cerita tentang mendiang Gus Dur, “Abdurrahman Wahid adalah pemimpin besar. Meski tidak mudah karena berbagai faktor dan politik dalam negeri Indonesia. Tapi, pada dasarnya tantangan hidup di masa mendatang tak mungkin lagi dihadapi sendiri oleh setiap negara. Semakin hari, batas-batas wilayah semakin tak berarti dan kita memasuki era yang sama sekali berbeda,”

Dalam pertemuan terbatas, Simon Peres mengungkapkan dinamika politik sebagai tantangan hubungan Israel dan Indonesia. “Jarak antara Indonesia dan Israel berjauhan. Kita tidak saling berbatasan, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan seperti bila kita bertetangga. Israel tidak mungkin menyerang Indonesia, begitu juga sebaliknya. Bekerja sama akan jauh lebih baik dan membuka banyak sekali peluang yang akan menguntungkan kedua pihak,” ungkap Peres, sebagaimana dilansir Tempo (28/09/2016).

Namun, jangan lupa, manuver Gus Dur dalam rangka membangun perdamaian di Timur Tengah. Gus Dur mengecam Israel, ketika melakukan kejahatan kemanusiaan. Ketika Israel menyerang Palestina di Jalur Gaza pada akhir Desember 2008, Gus Dur mengecam keras. Menurut Gus Dur, serangan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip perdamaian yang tengah diusahakan di Timur Tengah, khususnya di Palestina. Menurut Gus Dur, penyerangan ini, akan membawa kedua belah pihak ke jurang kehancuran.

Dari insiden ini, Gus Dur menyampaikan beberapa hal mendasar: mengecam segala bentuk dan cara kekerasan dalam menyikapi kebuntuan politik dan penyelesaian konflik di Timur Tengah, khususnya di Palestina; mendesak pihak militer Israel untuk menghentikan serangan mundur dari wilayah Palestina (jalur Gaza); menuntut agar pihak-pihak pemerintah di Palestina, dari PLO, Otoritas Palestina dan Fatah di bawah kepemimpinan Presiden Mahmoud Abbas untuk tidak berpangku tangan, serta membiarkan serangan Israel ini, apalagi memandang serangan Israel hanya urusan Hamas saja; menuntut agar pihak Hamas meninggalkan cara-cara kekerasan dalam mensikapi konflik Palestina-Israel, agar kaum konservatif Israel tidak menjadikannya sebagai dalih untuk melakukan pembalasan.

Selain itu,  Gus Dur meminta umat Islam di Indonesia untuk memberikan bantuan semampunya, untuk rakyat Palestina (doa qunut nazilah dan sebagainya), serta meminta umat Islam di Indonesia agar waspada dan tidak terprovokasi oleh pihak-pihak yang berusaha menunggangi isu Palestina, demi tujuan kelompoknya sendiri. Dalam kesempatan berbeda, Gus Dur menyampaikan betapa konflik Israel-Palestina bukan isu agama, tapi kepentingan politik.

Dari jejak panjang dan warisan pengetahuan, kita belajar waskita dari Gus Dur.

 

*Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, meriset isu Tionghoa Nusantara dan Anti-Semitisme di Asia Tenggara.

Print Friendly, PDF & Email
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in SUARA

To Top