Connect with us

Studi Hadis Tasyabbuh: Menyerupai Non-Muslim Seperti Apa yang Dilarang?

Ensiklopedi

Studi Hadis Tasyabbuh: Menyerupai Non-Muslim Seperti Apa yang Dilarang?

Salah satu hadis yang paling populer dalam suasana Natal atau ketika berbicara tentang relasi dengan non-Muslim adalah hadis riwayat Abdullah bin Amr bin Al-Ash bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.” (HR. At-Tirmizi) Dalam redaksi yang sedikit berbeda, dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud).

Penafsiran atau pemahaman atas hadis tersebut sering mengarah pada sikap eksklusif yang menyebabkan umat Islam sulit membangun relasi positif dengan umat atau peradaban lain. Di zaman Perang Salib dan Invasi Mongol pada masa Ibnu Taimiyah, hadis ini menjadi dasar dalam membangun politik identitas Muslim yang membedakannya secara tegas dengan identitas Kristen maupun peradaban Mongol. Mengapa? Bisa dipahami, karena saat itu kondisinya perang. Termasuk hadis-hadis shahih yang meminta kita berbeda dengan orang Yahudi, ia lahir dalam konteks perang.

Namun, bagaimana dalam kondisi bukan peperangan, alih-alih dalam suasana persaudaraan antar umat beragama seperti zaman kita ini? Bagaimana memahami dan menafsirkan hadis tersebut?

Sebelumnya, pembahasan tentang hadis tersebut perlu kiranya dimulai dengan kajian tentang ke-shahih-an hadis tersebut.

Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari, masih terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang status hadis tersebut lantaran adanya perawi bernama ‘Abdul Rahman bin Tsabit bin Tsauban, di mana ulama berbeda pendapat tentang sosoknya. Dalam catatan al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’, Al-Nasa’i menyebut ‘Abdur Rahman laysa bi tsiqah, Ahmad bin Hanbal berpendapat riwayat hadisnya munkar; Yahya bin Ma’in menilai laysa bihi ba’s, dan Ibnu ‘Adi mengatakan hadisnya tetap ditulis sekali ‘pun dhaif. Artinya, ulama-ulama tersebut meragukan status pribadi dan karenanya hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdul Rahman. Termasuk hadis di atas yang dinilai dhaif.

Meskipun begitu, mengingat begitu populer dan berpengaruhnya hadis tersebut, perlu kita melanjutkan pembahasan mengenai tafsir hadis tersebut, minimal bagi mereka yang meyakini status hadis tersebut sebagai hadis shahih.

Kita berangkat dari sebuah fakta bahwa kemajuan dalam sains dan teknologi saat ini misalnya, kita ketahui pusatnya di Barat yang merupakan negeri non-Muslim. Karena itu, tak sedikit umat Islam, termasuk dari negara-negara Islam seperti Iran dan Arab Saudi sekalipun, yang mengirim pelajarnya ke negeri Barat atau mengadopsi metodologi pembelajaran dari Barat. Apakah itu termasuk menyerupai (tasyabbuh)? Dalam banyak hal, sebagian negeri Muslim tertinggal dari negara Barat yang didominasi non-Muslim. Lalu, apa kita diharamkan untuk belajar pada mereka, seperti dari China misalnya? Oleh karena itu, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas, kita ketahui bahwa Nabi ‘pun dalam beberapa hal dari kebiasaannya mengikuti kaum lain.

“Sesungguhnya Nabi menyukai untuk menyamai Ahlul Kitab dalam hal yang tidak diperintahkan (di luar masalah keagamaan).” (HR. Bukhari)

Maka, mengikuti kaum lain dalam perkara yang baik, terlebih dalam kondisi damai seperti saat ini, tentu bukan masalah dalam Islam. Sebab, sebagaimana dikabarkan Al-Qur’an, Muslim adalah generasi paling berakal dan terdepan dalam kebaikan. Maka, jika ada kebaikan dalam kaum lain, sudah sepatutnya kita mempelajarinya untuk juga menerapkannya. Jika kita menilai ada motif buruk di dalamnya, maka itulah tugas kita: memodifikasi dengan meluruskan motif (niat) kita menjadi baik. Bisa jadi, yang terakhir inilah salah satu yang dimaksudkan dalam hadis tersebut. Adapun dalam keburukan, tanpa dikaitkan dengan menyerupai non-Muslim ‘pun kita memang harus menjauhinya. Selain juga kebiasaan yang memang khas non-Muslim yang berkaitan dengan peribadatan atau keimanan, di mana memang justru aneh jika kita mengikuti sesuatu yang tak bernilai ibadah atau sakral dalam perspektif agama kita sedangkan itu bernilai ibadah dan sakral dalam ibadah umat lain. Dan yang terakhir inipun, jika kita memang memiliki dalilnya, maka kita lebih berhak atas umat lain, sebagaimana hadis Nabi:

“Aku adalah orang yang lebih berhak atas Isa bin Maryam, baik di dunia maupun di akhirat.”

Oleh karena itu, kuatkan keimanan dalam Islam, sehingga kita tak sulit menjadi inklusif dan berhubungan baik dengan kaum lain. Sebab, dalam suasana damai, kita justru harus terdepan dalam persaudaraan dengan siapapun, meski bukan seagama, karena mereka juga manusia di mana kita saudara mereka dalam kemanusiaan.

Print Friendly, PDF & Email
Husein Ja'far Al Hadar

Sarjana, Peneliti, dan Penulis Keislaman.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in Ensiklopedi

To Top