Connect with us

Sibuk Tuntut HAM, Lupa Wajib Asasi Manusia (WAM)

Ensiklopedi

Sibuk Tuntut HAM, Lupa Wajib Asasi Manusia (WAM)

Saat menerima Penghargaan HAM “Yap Thiam Hien Award” pekan lalu, KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus berkata: “Saya ini enggak ngerti HAM,” katanya. Yang ada hanyalah: “Saya diajarkan kiai-kiai saya untuk lebih menyadari kewajiban ketimbang hak. Ketika saya menyadari hak, maka saya wajib menghargai hak orang lain dan HAM,” kata Gus Mus. Simaklah kata-kata Gus Mus itu, di mana ia memilih lebih menyadari kewajiban ketimbang menuntut hak. (Baca: “Gus Mus dan Kewajarannya yang Istimewa“)

Selain Gus Mus, adalah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun itu yang menyadari Wajib Asasi Manusia (WAM) dalam pembicaraan soal HAM. Cak Nun menawarkan agar kita menyeimbangkan ideologi kita dengan kibaran WAM.

Kita ini memang terlanjur hanya meminta dan lupa memberi. Menuntut hak, mengabaikan kewajiban. Bahkan kita terlanjur hanya mengenal HAM, dan mungkin tak punya istilah WAM. Relasi kita dengan orang lain dibangun dengan prinsip subjek-objek: kita menuntut kewajiban orang lain pada kita tanpa pernah mempertimbangkan dan apalagi memenuhi haknya. Kita minta jalan bagus, tapi tak bayar pajak. Kita minta dihormati, tapi tak menghormati. Di sanalah HAM tergadaikan. Lantaran hak yang diminta tak dipenuhi (karena memang ia juga tak memenuhi hak orang lain yang itu adalah kewajibannya), maka ia merampasnya.

Padahal, bagaimana kita bisa tegakkan HAM tanpa WAM terlebih dulu? Sedangkan WAM itu wajib, sedangkan hak itu bisa kita tuntut, bisa sekadar minta, atau bahkan bisa kita ikhlaskan sebagai betuk rahmat, toleransi, maslahat, atau apapun istilahnya. Artinya, bisa jadi kita hidup tanpa HAM, tapi mustahil tanpa WAM. Bukankah tak perlu ada tuntutan HAM jika semua menjalankan WAM?

Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap. (QS. Al-Isra’: 81)

Secara konseptual-filosofis, kita memahami bahwa kegelapan itu tak berwujud. Ia hanya konsekuensi dari tiadanya cahaya. Yang benar-benar ada hanyalah cahaya. Maka, ketika cahaya datang, pasti dan otomatis kegelapan akan sirna.

Begitulah kiranya mengenai HAM. HAM akan pasti dan otomatis terpenuhi jika kita menyadari dan menjalankan WAM sebenar-benarnya. Sebagai contoh, mereka yang miskin tak perlu menuntut kesejahteraan jika mereka yang kaya menyadari dan menjalankan kewajiban berbaginya: zakat, sedekah, dan lain-lain.

Apa sih yang benar-benar melekat pada diri kita sebagai hak, sedangkan kita adalah makhluk ciptaan-Nya dengan seluruhnya adalah kewajiban pada-Nya dan sesama manusia? Allah firmankan bahwa kita diciptakan untuk beribadah: beribadah secara vertikal pada-Nya dan horisontal pada sesama manusia (muamalah).

Bukan berarti Islam tak memiliki konsep tentang HAM, persis seperti Islam juga berbicara dan meminta kita melawan kegelapan. Bahkan, seperti telah pernah diuraikan dalam tulisan bertajuk: HAM: Ajaran Islam yang Tertuduh Sekular, konsep HAM yang kini berkembang di Barat pada awalnya adalah gagasan yang dibawah dari Islam.

Bahkan, salah satu sumber hukum dunia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) diadopsi dari pesan khalifah Islam ke-4, Sayyidina Ali bin Abi Thalib kepada wakilnya di Mesir, Gubernur Malik Al-Asytar: “Wahai Malik, sesungguhnya manusia itu ada dua tipe, yakni jika dia bukan saudaramu seagama, dia saudaramu dalam kemanusiaan.” Di mana mengenai ini bisa dirujuk kepada rilis United Nations Development Programme berjudul “Arab Human Development Report 2002” yang bisa diperoleh melalui www.un.org/publications atau www. undp.org/rbas.

Namun, konsep HAM dalam Islam itu muncul dalam semangat WAM. Kita diingatkan tentang WAM kita dalam hal ibadah muamalah dengan sesama manusia agar terbentuknya tata dunia yang sesuai dengan HAM tersebut.

 

Print Friendly, PDF & Email
Husein Ja'far Al Hadar

Sarjana, Peneliti, dan Penulis Keislaman.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in Ensiklopedi

To Top