Connect with us

Merenungkan Kritik Hawking pada Agama

SUARA

Merenungkan Kritik Hawking pada Agama

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan wartawan senior ABC News, Diane Sawyer pada 2010 terkait kemungkinan adanya rekonsiliasi sains dan agama, Stephen Hawking menjawab: “Ada perbedaan mendasar antara agama, yang berlandaskan otoritas, dan sains, yang berdasarkan observasi dan nalar. Sains akan menang karena ia terbukti bekerja.”

Hawking tentu salah ketika melayangkan itu pada agama sebagai sebuah tata nilai. Sebab, apapun agamanya, termasuk Islam yang akan menjadi fokus utama tulisan ini, berorientasi pada kemaslahatan umat manusia. Bukan hanya dalam urusan akhirat, tapi juga dunia, di mana sains adalah salah satu dari perkara dunia tersebut.

Salah satu unsur dalam kemaslahatan itu adalah kemajuan yang diintegrasikan dengan kebijaksanaan. Albert Einstein punya diktum yang tepat merangkum ini: “Sains tanpa agama lumpuh”. Bagi sains yang bebas nilai itu, agama perlu sebagai salah satu kebijaksanaan agar kemajuan itu terarah pada kemaslahatan, bukan malah chaos (kerusakan). Artinya, kemajuan digunakan secara bijak untuk kemaslahatan. Seperti kemajuan sains yang melahirkan nuklir atau internet, kita digunakan secara bijak untuk memberikan kemaslahatan dalam memberikan solusi bagi umat manusia. Bukan malah menjadi biang kehancuran, di mana kita dapati nuklir saat ini juga digunakan untuk peperangan dan internet untuk menyebar hoax.

Dalam kaitannya dengan perkataan Hawking di atas, pertama, soal otoritas dalam agama, sebenarnya ia bukan otoritas seperti dibayangkan Hawking. Otoritas agama sebenarnya seperti juga otoritas dalam sains. Ia berpondasikan ilmu yang berbasiskan pada nalar salah satunya kalau dalam agama dan satu-satunya kalau dalam sains. Karena itu, dalam Al-Qur’an, kita dapati begitu banyak ayat yang menantang dan meminta manusia untuk berpikir, menggunakan akal, dan lain sebagainya.

Kedua, mengenai sains yang dinilai menang karena terbukti bekerja, ‘pun agama pada dasarnya mendorong umatnya untuk terus bekerja. Islam mengajarkan agar hari ini umatnya lebih baik dari hari kemarin. Artinya, terus menerus bekerja konstruktif. Bahkan, “Islam” itu sendiri adalah kata kerja yang menuntut dinamis, bukan kata benda yang bersifat statis.

Lalu, apakah kata-kata Hawking itu sepenuhnya perlu kita buang ke tong sampah sembari mencibirnya? Tentu tidak! Kita bisa ambil hikmah darinya. Dalam artian, faktanya, meski Islamnya bersifat sebaliknya dari apa yang dituduhkan Hawking itu, namun oknum umat Islam tak sedikit yang sesuai dengan kritik Hawking itu. Pertama, mereka membangun otoritasnya sebagai agamanya di atas pondasi kultus tanpa ilmu. Kultus itu macam-macam dasarnya, termasuk yang kini populer adalah berbasiskan tampilan. Asal berjanggut dan bersorban, seolah sudah punya otoritas dalam Islam. Dan ini bukan hanya fenomena dalam Islam. Gereja di Abad Pertengahan juga sedang terjangkit fenomena serupa.

Kedua, meski “Islam” adalah kata kerja yang dinamis, namun tak sedikit umatnya yang memposisikannya sebagai kata benda yang statis. Islam dipahami mereka sebagai dogma yang kaku, jumud, dan bahkan menuduh kreatifitas sebagai kesesatan (bid’ah). Filsafat diharamkan, sains ditinggalkan. Mereka hanya menyesaki peradaban dengan adu dalil dan saling tuduh kafir. Sehingga Islam bukan hanya statis, bahkan mundur disalip oleh peradaban lain yang menyibukkan diri dalam proyek-proyek konstruktif bagi peradabannya.

Maka, pekerjaan rumah umat Islam saat ini adalah menjadikan agama ini pada khittah ajarannya dalam Al-Qur’an yang menghendaki kita mempodasikan semua yang terkait agama ini di atas kerja nalar, sehingga tumbuhlah “tunas-tunas” muslim yang otoritasnya berdasarkan kerja kompetensi dan bukan kultus sehingga umat Islam berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana amanat Al-Qur’an. Kebaikan itu tentu bukan hanya dalam perkara akhirat, tapi juga dunia. Sains salah satunya.

Dalam hal sains, di satu sidang UNESCO di Paris pada 1984, seorang muslim peraih Nobel Fisika, Abdul Salam mempersentasikan makalahnya berjudul “The Holy Quran and Science” yang disesaki oleh istilah-istilah sains yang bersanding dengan ayat. Ia berujar, “Saya muslim karena saya percaya dengan pesan spiritual Al-Quran. Al-Quran banyak membantu saya dalam memahami hukum alam, dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi, dan kedokteran sebagai tanda bagi seluruh manusia.”

Print Friendly, PDF & Email
Husein Ja'far Al Hadar

Sarjana, Peneliti, dan Penulis Keislaman.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in SUARA

To Top