Connect with us

Merilis Nama Penceramah yang Direkomendasikan atau yang Tidak Direkomendasikan?

SUARA

Merilis Nama Penceramah yang Direkomendasikan atau yang Tidak Direkomendasikan?

Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) telah merilis dua ratus nama penceramah agama Islam yang direkomendasikan untuk umat Islam mengakses dakwah Islamiyah. Yang jadi persoalan adalah tepatkah perilisan nama-nama dai itu? Untuk mengukur ketepatan/ketidaktepatan kebijakan Kemenag itu, kita perlu menilik hakikat dakwah dalam Islam di satu sisi, dan kebutuhan realitas masyarakat Indonesia kontemporer terkait dakwah Islamiyah di sisi lain.

Perlu dipahami bahwa dakwah Islamiyah sejatinya tugas tiap individu umat Islam. Kesimpulan itu didapatkan dari ayat Al-Quran yang berbunyi: “Kuntum khaira ummah ukhrijat li an-nâs ta’murûna bi al-ma’rûf wa tanhauna `an al-munkar (Kalian umat yang baik yang dihadirkan kepada manusia untuk  mengajak ke arah kebaikan dan mencegah kemungkaran)” (QS. Ali Imran [3]: 110).

Meski begitu, Al-Quran memberi spesifikasi lebih lanjut tentang siapa yang sungguh-sungguh da’i di hadapan publik yang banyak. Menurut Al-Quran, dai publik  adalah orang-orang yang benar-benar mendalam dan meluas pengetahuan agamanya, sebagaimana termaktub di ayat “falau la lâ nafara min kulli firqatin minhum thâifah li yatafaqqahû fi ad-dîn wa li yundzirû qaumahum idzâhum raja`û ilahim, la`allahum yahdzarû (Maka, mengapa tidak ada yang pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaum mereka, apabila mereka telah kembali kepada mereka, supaya mereka berhati-hati)” (QS. At-Taubah [9]: 122).

Dengan banyaknya pondok pesantren, perguruan tinggi agama Islam, dan orang-orang Indonesia yang belajar agama Islam hingga ke luar negeri, bukankah Indonesia surplus orang-orang yang berpengetahuan agama Islam secara mendalam dan meluas yang memiliki tugas berdakwah di hadapan publik? Jawaban afirmatif atas pertanyaan tersebut menjadi salah satu pemicu sebagian dai di negeri ini memprotes perilisan 200 nama dai yang recommended menurut Kemenag.

Saya tidak seratus persen sejalan dengan para pemprotes itu dengan beberapa alasan. Pertama, sebagian protes itu didasari alasan ekonomi-personal. Sebagian penceramah lama yang tak tertera namanya di list itu marah karena merasa kurang dihargai dan merasa direduksi potensinya mendapatkan ‘berkah’ dari kegiatan berdakwah.

Kedua, niat Kemenag mempublikasikan data tersebut sejatinya baik: yaitu memberitahu publik tentang siapa saja da’i yang patut dijadikan panutan umat Islam dalam bidang keislaman yang mengindonesia, seiring dengan maraknya dai-dai ‘karbitan’ dan/atau dai-dai yang menebarkan kebencian berbasis politik dan perbedaan SARA (Suku, Agama dan Antargolongan) yang meresahkan bangsa dewasa ini.

Meski kebijakan Kemenag didasarkan pada niat mulia yang merespon kondisi masyarakat, saya tidak serta merta menyetujui kebijakannya dalam perilisan 200 nama mubaligh itu. Alasan saya dalil-dali Al-Quran di atas dan kebutuhan realitas.

Dua ayat Al-Quran di atas menunjukkan bahwa Islam menganjurkan umat Islam secara umum dan para pengkaji agama Islam secara khusus untuk mengajak ke arah kebaikan dan mencegah kemungkaran. Anjuran itu berpotensi memunculkan banyak da’i di negeri bermayoritas muslim ini.

Kemenag perlu mencatat banyak sekali nama dai bila parameter pencatatannya adalah dai yang berkompetensi keilmuwan Islam yang mumpuni, bereputasi baik dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi. Pencatatan data yang sedemikian panjang itu kurang efektif untuk mengatasi persoalan yang menjadi dasar perilisan nama-nama itu.

Jika yang menjadi alasan utama perilisan nama-nama itu adalah kemunculan dai-dai yang tidak nasionalis dan cenderung menghasut umat dangan hasutan bernuansa politik dan SARA, maka seyogianya yang dirilis oleh Kemenag adalah daftar para dai yang tidak direkomendasikan untuk berdakwah di hadapan publik.

Untuk mendapatkan data tersebut, Kemenag bisa membentuk tim konseptor dan tim lapangan. Tim konseptor bertugas membuat parameter dai yang tidak direkomentasikan berdakwah di muka publik: misalnya dai memicu kebencian berbasis SARA dan kebencian pada negara Indonensia. Tim lapangan bertugas menilai dai-dai berdasarkan parameter itu, baik secara online (dengan meninjau media sosial dan media massa) maupun secara offline (dengan meninjau ceramah-ceramah di masjid, musholla dan majlis ta’lim).

Penceramah yang bisa dimaksukkan ke daftar penceramah yang tidak direkomendasikan berdakwah di muka publik antara lain adalah penceramah yang:  (1) menyanjung terorisme berkedok Islam, (2) menebar berita yang tidak terverifikasi dan berkecenderungan bohong atau fitnah (hoax), (3) mengajak pengubahan sistem negara Indonesia menjadi sistem khilafah, dan (4) menunjukkan sikap benci kepada orang atau golongan yang berbeda SARA semata-mata karena alasan perbedaan dan politik, bukan karena alasan tindak pidana misalnya.

Kalau Kemenag fokus pada perilisan nama-nama dai yang tidak direkomendasikan, maka kinerja Kemenag akan jauh lebih simpel, karena sebagian besar dai di Indonesia baik, sementara dai yang buruk sedikit. Hasil kinerja yang lebih simpel itu pun akan lebih efektif dan lebih tepat sasaran dalam mencegah penebaran ekstremisme dan disintegrasi bangsa-negara Indonesia. Jadi, sebaiknya Kemenag mempublikasikan nama-nama penceramah yang tidak direkomendasikan berdakwah di depan massa saja, daripada merilis nama-nama dai seperti kemarin. []

Print Friendly, PDF & Email
Zainul Maarif

Dosen dan Peneliti di bidang Filsafat dan Agama. Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini telah mempublikasikan beberapa buku: "Kosmologi dan Sirah Nabi versi Ibnu Arabi: Ulasan atas Syajarah Al-Kawn" (2019), "Fathurrabbani Syekh Abdul Qadir Al-Jailani" (2018), "Ar-Risalah Imam Syafi'i" (2018), "Kitab Kebijaksanaan orang-orang Gila" (2017, 2019), "Logika Komunikasi" (2015, 2016), "Rahasia Asmaul Husna Ibnu Arabi" (2015), "Retorika: Metode Komunikasi Publik" (2014, 2015, 2017, 2019), "Pos-Oksidentalisme: Identitas dan Alteritas Pos-Kolonial" (2013), "Filsafat Yunani" (2012), "Surga Yang Allah Janjikan" (2011), "Pos-Oksidentalisme: Dekonstruksi atas Oksidentalisme Hassan Hanafi" (2007), "Sosiologi Pemikiran Islam" (2003), "Dekonstruksi Islam: Elaborasi Pemikiran Hassan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zaid" (2003).

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in SUARA

To Top