Connect with us

Keragaman Al-Quran: Penelitian Al-Quran di Jerman

MARJA

Keragaman Al-Quran: Penelitian Al-Quran di Jerman

Bagi orang awam, Al-Quran itu satu sebagaimana yang dewasa ini dijual bebas di toko-toko buku dan berada di masjid-masjid di Indonesia. Bagi orang yang terpelajar, Al-Quran tidak satu. Ada beberapa cara membaca Al-Quran, bahkan ada beragam teks Al-Quran. Corpus Coranicum mengaksentuasikan penelitian tentang keragaman teks Al-Quran itu.

Secara literal, Corpus Coranicum berarti teks Al-Quran. Di Jerman, tepatnya di Berlin, Corpus Coranicum merupakan salah satu lembaga penelitian di bawah Akademi Ilmu Pengetahuan Berlin (Berlin-Brandenburgische Akademie Der Wissenchaften) yang berkonsentrasi meneliti Al-Quran.

Diketuai oleh Michael Marx, Corpus Coranicum tidak hanya meneliti tafsîr (komentar terhadap Al-Quran) dan qirâ’at (cara membaca Al-Quran), tapi meneliti hal yang lebih mendasar lagi, yaitu manuskrip-manuskrip awal Al-Quran.

Selama ini umat Islam pada umumnya, khususnya yang awam, menerima Al-Quran begitu saja sebagai satu kesatuan yang tinggal dijalankan, atau, pada tataran tertentu, bisa langsung ditafsirkan sedemikian rupa. Para akademisi Islam merasuk ke hal yang tak umum, yaitu mengungkap keragaman cara baca Al-Quran, yang mencapai sedikitnya tujuh cara baca. Para peneliti Corpur Coranicum meneliti hal yang lebih mendasar lagi, yaitu keragaman cara menulis Al-Quran.

Contohnya, ayat ke-19 surat Maryam. Dalam penelitian Corpus Coranicum, ayat tersebut memiliki sedikitnya enam versi penulisan sebagaimana tampak di gambar berikut:

QS. Maryam: 19 dalam berbagai versi penulisan

Di situ, tampak betul, betapa Al-Quran punya banyak dimensi sejak sisi penulisan. Tulisan yang satu berbeda dari tulisan yang lain. Mana yang paling benar di antara dua atau lebih tulisan Al-Quran tersebut, tidak bisa ditentukan dengan mudah.

Yang jadi persoalan lanjutan adalah bahwa Al-Quran, pada awalnya, ditulis tanpa titik (nuqthah), apalagi tanda baca (harakat), sebagaimana terlihat di gambar di bawah ini:

Manuskrip Tulisan Al-Quran awal tanpa titik dan harakat

Satu kata dalam Al-Quran pun bisa dibaca dengan berbagai cara. Misalnya, awal kata di surat Al-Lahab yang selama ini dibaca “tabbat”, bisa dibaca “tsabata”, “nabata” dan lain sebagainya. Yang bisa dipastikan hanya bacaan yang paling umum, sementara bacaan yang paling benar tidak bisa ditentukan.

Bila bacaan Al-Quran yang terbenar tidak bisa ditentukan, sebagaimana tulisan Al-Quran, tafsir terbenar atas Al-Quran juga tidak ada. Penafsir Al-Quran hanya berijtihad. Ada kemungkinan benar, sebagaimana ada kemungkinan salah. Menurut Nabi Muhammad saw., “Barangsiapa berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala. Jika salah, maka baginya satu baginya.”

Dengan demikian, akankah pembaca dan penafsir Al-Quran mengaku bacaannya dan tafsirannya paling benar? Ataukah justru menampakkan kerendahhatian di samping menyampaikan pandangannya, seraya berkata di akhir perkataan bahwa Allahlah yang Maha Tahu: Wallahu a’lam bi ash-shawâb?[]

Print Friendly, PDF & Email
Zainul Maarif

Dosen dan Peneliti di bidang Filsafat dan Agama. Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini telah mempublikasikan beberapa buku: "Kosmologi dan Sirah Nabi versi Ibnu Arabi: Ulasan atas Syajarah Al-Kawn" (2019), "Fathurrabbani Syekh Abdul Qadir Al-Jailani" (2018), "Ar-Risalah Imam Syafi'i" (2018), "Kitab Kebijaksanaan orang-orang Gila" (2017, 2019), "Logika Komunikasi" (2015, 2016), "Rahasia Asmaul Husna Ibnu Arabi" (2015), "Retorika: Metode Komunikasi Publik" (2014, 2015, 2017, 2019), "Pos-Oksidentalisme: Identitas dan Alteritas Pos-Kolonial" (2013), "Filsafat Yunani" (2012), "Surga Yang Allah Janjikan" (2011), "Pos-Oksidentalisme: Dekonstruksi atas Oksidentalisme Hassan Hanafi" (2007), "Sosiologi Pemikiran Islam" (2003), "Dekonstruksi Islam: Elaborasi Pemikiran Hassan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zaid" (2003).

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in MARJA

To Top