Connect with us

Agama dan Budaya Tak Perlu Dipertentangkan dengan Pancasila

KABAR

Agama dan Budaya Tak Perlu Dipertentangkan dengan Pancasila

SYIARNUSANTARA.ID – Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Syaiful Bakhri menegaskan, agama dan budaya tidak perlu dipertentangkan atau bahkan dibenturkan Pancasila. Bahkan, menurutnya, keduanya harus dilestarikan agar bangsa ini selalu menjadi bangsa yang harmoni dan damai.

Sebab, menurut Syaiful, Indonesia adalah negara yang beragama dan berbudaya yang selama ini menjadi roh ideologi bangsa ini, yaitu Pancasila.

“Agama itu sangat mulia karena titah Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan budaya mengandung nilai-nilai luhur dan kearifan lokal bangsa Indonesia dengan segala keberagamannya. Perpaduan itulah yang menjadi sebuah kekuatan dalam Pancasila sebagai fundamental bernegara kita yang syarat dengan harmoni,” katanya.

Untuk itulah, ia mengajak seluruh pihak untuk menjaga harmonisasi dan perdamaian. Apalagi bangsa Indonesia tengah menatap tahun politik dengan akan digelarnya pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, pemilu legislatif (pileg), dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

“Karena itulah, integrasi agama dan budaya perlu dikuatkan kembali dengan pandangan bahwa agama memberi roh relijius pada budaya dan budaya memberi ruang kontekstualisasi ajaran agama. Keduanya tidak bisa dicampuradukkan, tetapi tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan. Menjadi relijius tidak berarti menanggalkan budaya, dan menjadi berbudaya tidak berarti bertentangan (menistakan) agama,” katanya.

Menurutnya, sangat tidak elegan bila ada kelompok atau golongan yang sengaja membentur-benturkan masalah ini, yang bisa menimbulkan kegaduhan. Apalagi benturan-benturan itu akhirnya bermuara di ranah hukum.

Sebenarnya, hal-hal seperti ini, bila semua dikembalikan ke Pancasila, penyelesaiannya akan lebih mudah yaitu dengan musyawarah dan mufakat, seperti tertuang dalam sila keempat.

Selain itu, pakar hukum ini menjelaskan, dalam dunia hukum, saat ini terjadi pergeseran dari hukum pidana kuno dengan hukum pidana modern. Dalam hukum pidana kuno, semua bertolak dari pembalasan seperti kejahatan mesti dibalas dengan hukuman.

Beda dengan hukum pidana modern yang berdasar sifat humanistis dan rasional, sehingga pembalasannya tidak semata-mata membuat orang jera, tetapi dengan memaafkan. Bahkan memaafkan itu bisa menjadi sebuah sanksi di era masyarakat modern.

Syaiful menilai, kalau terjadi disharmonisasi, maka persatuan bangsa ini bisa terancam dan akan menimbulkan benih-benih kebencian dan radikalisme. Kalau sudah masuk dalam itu, baik sengaja maupun tidak, jelas itu menggganggu ketertiban bahkan bisa mengancam keutuhan NKRI.

Print Friendly, PDF & Email
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in KABAR

To Top