Connect with us

Islam Transnasional di Kampus Negeri dan Milenial Gerakan Dakwah Islam

SUARA

Islam Transnasional di Kampus Negeri dan Milenial Gerakan Dakwah Islam

Oleh: Dewi Anggraeni *)

Pemberitaan belakangan ini yang menyudutkan mengenai Perguruan Tinggi sebagai sarang radiklalisme tentunya bukan hal yang baru dan asing ditelinga kita. Perguruan Tinggi menjadi pusat perhatian sebagai tempat tumbuhnya pemahaman radikal serta ekslusivitas keberagamaan, hal ini tidak terlepas dari beberapa temuan riset yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil laporan beberapa riset seperti yang dilakukan oleh BNPT pada tahun 2018 yang megungkap bahwa terdapat 39 persen mahasiswa di 15 provinsi tertarik pada paham radikal. Pada tahun yang sama  juru bicara BIN, Wawan Purwanto membenarkan adanya tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) terpapar radikalisme. Pada tahun sebelumnya, 2017 hasil Survei yang dilakukan oleh Alvara menunjukan menguatnya kecenderungan pemahaman radikal dan sikap intoleransi, hal ini dilihat dari respon mahasiswa sebanyak 17,8%  setuju dengan Khilafah, 23,5% resepon mahasiswa yang mendukung pendirian Negara Islam, sementara 29,5% mahasiwa tidak setuju pemimpin non-Muslim.

Hasil riset tersebut memperkuat alasan LPPM UNUSIA untuk menggali lebih dalam mengenai gejala reproduksi Islam esklusif, bagaimana pemahaman radikal, dan sikap intoleransi dapat tumbuh dan berkembang di kampus. Sebagaimana yang diutarakan ketua tim riset LPPM Unusia Naeni Amanullah, bahwa: “Kampus merupakan institusi pendidikan yang mengembangkan cara berpikir kritis, ilmiah, terbuka, dan berorientasi pada pengembangan kebaikan kehidupan bersama. Sehingga tidak mudah dimengerti bahwa faktanya kampus memungkinkan perkembangan pemikiran dan gerakan keagamaan yang tertutup/eksklusif.

Faktanya bahwa kampus menjadi salah satu locus dakwah Islam yang paling progressif selama dua dekade terakhir. Gerakan keislaman yang tumbuh di PTN berkiblat kepada paradigama Islam di Timur Tengah yang dalam konteks penelitian Unusia disebut dengan Gerakan Islam Transnasional seperti; Hizbut Tahrir yang bermanifestasi di dunia kampus melalui Gema Pembebasan, Gerakan Tarbiyah lewat KAMMI, dan Gerakan Dakwah Salafi. Gerakan Keislaman transnasional ini saling berkontestasi menguasai berbagai lini-lini penting di dunia kampus, seperti LDK, Masjid Kampus, SEMA (Senat Mahasiswa) BEM,UKM, KSU (Kelompok Studi Mahasiswa), UKI/UKKI ( Unit Kegiatan Kerohanian Islam) di ranah eksternal kampus seperti Kos-kos binaan, Maskam (Masjid Sekitar Kampus), Asrma Mahasiswa, Pesantren Ad Hoc, serta jaringan Beasiswa.

Lembaga Gerakan Dakwah merupakan pintu masuk tumbuhnya semangat Islamisasi di Perguruan Tinggi Negeri.Tedapat 6 PTUN yang menjadi objek penelitian yakni; UGM, UNY,UNS,UNSOED, UNSED dan UNDIP menunjukan bahwa  gerakan dakwah didominasi oleh Tarbiyah (KAMMI), sementara di 2 PTKIN, yakni IAIN Purwokerto dan IAIN Surakarta masih didominkasi oleh gerakan Islam Nasional, dalam konteks  ini adalah gerakan Islam yang terbuka dengan keberagaman di tanah air. Oleh karenanya lebih dikenal dengan istilah gerakan Islam Inklusif seperti;PMII, HMI, IMM. Kendati, demikian tidak menafikan bahwa gerakan Islam transnasional tumbuh di PTKIN.Sebagai salah satu contoh misalkan di IAIN Surakarta Gema Pemebebasan (GP) menjadi salah satu organisasi ekstra kampus yang diminati. Sebagaimana yang diuatarakan oleh aktivis GP Solo yang menyatakan bahwa:”Kampus sebagai dunia akademik sekaligus ladang untuk mencari kader. Oleh karernanya, dia mendorong diskusi di kampus mengenai khilafah untuk tetap  terus digalakkan sebagai bentuk kebebasan akademik, dan sarana untuk mencari kader”

Selain melalui LDK proses penetrasi pemahaman keislaman (Islamisme) ditawarkan melalui kegiatan Asistensi Agama Islam (AAI), Halaqoh, Dauroh dan mentoring yang pada praktiknya difasilitasi oleh masing-masing kampus. Salah satu bentuk fasilitas yang diberikan dari kampus adalah leluasanya mereka dalam menjaring atau merekrut mahasiswa baru dan melakukan kaderisasi dengan sepengetahuan bagian kemahasiswaan.

Dari potret keberislaman mahasiswa di PTN nampak jelas bahwa salah satu motor penting Islamisme adalah generasi muda. Oleh karennya tidak mengherankan bila para pemuda muslim aktif berperan dalam penyelenggaraan perkumpulan keagamaan. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Dominik M. Müller (2014), karakter dinamis Islamisme, sangat erat kaitannya dengan kaum muda, dimana generasi muda inilah sebagai pilar utama gerakan Islam yang cenderung progresif, idealis, dan berani, serta mampu menghasilkan perubahan.

Ideologi Islam Esklusif Diminati Mahasiswa

Sebagaimana telah diutarakan sebelumya, gerakan keislaman di PTN didominasi oleh gerakan Islam Transnasional. Tarbiyah yang berinduk kepada gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Salah satu gagasan IM yang ditawarkan dan diadopsi adalah mengenai syumuliatul Islam, yakni Islam yang komperhensif dengan mengacu bahwa Islam adalah ajaran yang kaffah. Untuk menjadi muslim yang seutuhnya perlu kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup. Ideologi ini yang diadopsi seluruh tarbiyah di berbagai universtas.

Tentu secara sepintas ini tidak bermasalah bahkan dibenarkan, namun pada praktiknya pemahaman ini menyebabakan orang terjerumus kepada pemahaman yang tekstualis. Sebagaimana hal-hal yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah kemudian dibid’ahkan, disalahkan bahkan tak jarang dikafirkan.

Pada ideologi ini terletak persamaan antara tarbiyah dan Salafi yang lebih dikenal dengan konsep purifikasi Islam dan tasfiyah, dengan kembali kepada generasi terbaik, generasi para sahabat dan menghadirkan kembali bagaimana membentuk masyarakat yang ideal sebagaimana generasi sahabat. Salafi ditemui massif khususnya di dua wilayah, Purwokerto dan Yogyakarta. Sebagai gerakan puritansime Islam, Salafi sangat anti bi’dah kendati mereka tidak mengkafirkan beberapa narasi-narasi keislaman yang diajarkan sehingga membuat mereka terkesan esklusif adalah pengharaman pengucapan selamat natal dengan berbagai macam bentuknya, pengharaman substansi keagamaan yang diakomodir dengan budaya seperti Istighotsah, Maulid Nabi SAW, Ziarah, mendengarkan Nasyid serta pengkafiran terhadap kelompok Syi’ah dah liberal yang disebut sebagai bukan bagian dari  Islam. Tak jarang, pemahaman ini jatuh kepada hal yang sama yakni cenderung pada pemahaman keagamaan yang tekstualis.

Lain halnya dengan Gema Pembebasan sebagai sayap HTI di PT, tujuan utamanya lebih eksplisit dibandingkan dengan dua gerakan sebelumnya, yakni membentuk Khilafah Islamiyah. Dengan melakukan tiga agenda yakni; tasqif  atau pengkaderan, tafaul atau interaksi dengan masyarakat dan agenda yang ketiga adalah  istilam al-hukm yakni meraih kekuasan (The Method of Hizbut Tahrir)

Ideologi yang mereka anut serta merka ajarkan kepada kadernya menjadikan salah satu indikator bahwa gerakan Islam tersebut dikatakan bersifat ekslusif ditandai pengakuan kebenaran mutlak dan menafikan hal yang lainya, unusur ini lah yang pada tataran tertentu bertentangan dengan ideologi negara sebagaimana HTI, atau membernarkan berbagai tindakan kekerasan dengan dalih ajaran agama yang terjerumus kepada pemahaman tekstual. Lebih lanjut Hasan (2016) menjelaskan bahwa dalam bingkai slogan kembali kepada apa yang dipahami sebagai model Islam yang murni – al-Qur’an dan As Sunnah , dan praktik-praktik generasi awal Muslim (Salaf al-Salih) tuntutan itu mengejawantah ke dalam berbagai dimensi, dari penegasan identitas parokhial hingga militansi dan aksi-aksi berdarah merebut kekuasaan dari tangan rezim yang berkuasa.

Menggarisbawahi pentingnya tujuan atau muara yang ingin diraih dari ideologi eksklusif, aksi dan gerakan, yaitu terwujudnya negara Islam. Pengertian negara Islam bisa sangat luas, dari hadirnya simbol-simbol Islam dalam pemikiran dan aktivitas keseharian masyarakat sampai perubahan format dan sistem politik yang didasari pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. (Roy, 1996)

Lantas, mengapa gerakan keislaman yang di dominasi oleh ideologi Islam eksklusif justru diminati mahasiswa. Menurut Noorhaidi Hasan (2016a), generasi muda milenial (termasuk di dalamnya mahasiswa) harus berhadapan langsung dengan ekspansi ideologi Islamis (Islamisme) yang datang menawarkan harapan dan mimpi tentang perubahan. Dibangun di atas narasi yang menekankan pentingnya semangat kembali kepada dasar-dasar fundamental Islam dan keteladanan generasi awal, ia berusaha membuat jarak dan demarkasi antara Islam dengan dunia terbuka (open society) yang digambarkan penuh dosa-dosa bid’ah, syirik dan kekafiran. Kegagalan melakukan hal ini dipandang sebagai hal utama yang bertanggung jawab di balik keterpurukan umat Islam berhadapan dengan dominasi politik, ekonomi, dan budaya sekuler Barat. Khilafah didengungkan sebagai kunci untuk mengembalikan kejayaan Islam. Maka dapat ditarik benang merah kembali kepada ajaran Islam sebagaimana mereka pahami, adalah solusi untuk menyudahi segala ketidak pastiian tersebut.

Pada titik itulah Islam ekslusif transaional hadir memenuhi kehampaan spiritual para generasi muda, sebagai mana salah satu penuturan informan dengan inisial SA bahwa, “KAMMI mengadopsi ajaran-ajaran Hasan Al Bana yang menyatakan bahwa gerakan sosial-kolektif yang kuat harus bertumpu pada ritual-personal yang juga kuat. Untuk mewujudkan individu kader yang kuat, baik secara spiritual, mental maupun intelektual, maka KAMMI menekankan amalan-amalan harian yang harus dilakukan oleh seorang kader, seperti semacam wirid atau dzikir harian. Tujuannya adalah agar iman perjuangan sang kader tetap terjaga. Hal inilah, yang membedakan KAMMI dan gerakan-gerakan Islam lainnya”. Infroman lain mengatakan bahwa, kultur keberagamaan yang tepat untuk masyarakat pedesaan adalah NU, sementara untuk masyarakat perkotaan corak keberagamaan Muhamadiyah yang lebih tepat. Oleh karenanya, corak keberagamana yang yang tepat untuk mahasiswa atau diperguruan tinggi adalah model tarbiyah.

Hal senada diutarakan oleh salah seorang infroman berinisial DP yang mengungkapkan alasannya untuk memilih salafi, dalam penuturannya ia menyatakan bahwa; “selama ini, yang saya dapatkan paling mendekati dalam kutip kebenaran adalah manhaj Salafi karena sifatnya yang orisinil. Saya memandang bahwa manhaj Salafi tidak berbenturan antara hal agama dan hal budaya. Karena kita kan hanya mendapatkan pemahaman keagamaan dari tradisi yang diwariskan oleh Nabi, sahabat, dan orang salaf. Dalam keagamaan kita tidak menerima pembaharuan tetapi dalam budaya kita sangat menerima pembaharuan”.

Dari pemapaaran di atas nampak apa yang melatarbelakangi ideology Islam esklusif justru yang diminati oleh generasi muda, khususnya di perguruan tinggi. Satu hal lagi yang tak dapat kita lupakan adalah bagaimana akses informasi dan media sosial yang digunakan sebagai sarana dakwah merupakan salah satu daya Tarik tersendiri, jika dengan cara klasik mereka menggunakan majalah atau buletin serta pengajian rutinan. Penelitian ini mengungkap, GP yang secara legal telah dibubarkan, fakatanya kegiatan-kegiatan yang merka  lakukan masih terekam dalam jejak digital mereka seperti GP Purwokerto masih aktif lewat akun Facebook Gema Pembebasan PWT, sementara di Yogyakarta GP menggunakan Instagram dengan nama @gpyogyakarta dan @gema_ugm, sementara untuk salafi sendiri memiliki media yang paling beragama mulai dari facebook dengan berbagai macam nama, telegram yang hampir di setiap kota ada, serta instargram hingga TV dan Radio.

Keberagamaan Generasi Milenial bentukan Gerakan Dakwah Islam

Sebagai bahan refleksi bersama, bahwa generasi milenial serta generasi setelahnya yang demikian erat dengan media serta teknologi, tumbuh dilingkungan yang tidak pasti dan kompleks dalam menentukan pandangan mereka, sehingga mereka menentukan pandangannya sendiri dipengaruhi oleh apa yang didapat, apa yang dibaca dan di komunitas mana lagi ia tinggal.

Pada bagian ini, akan kita lihat bagaimana mereka yang dididik dari kecil dilingkungan agama yang bernuansa insklusif hingga akhirny ia tertarik kepada corak berislam yang esklusif. Sebutlah salah satu contoh  Informan dengan inisial D, ia di lahirkan dari keluarga dengan latar belakang Muhammadiyah, bersekolah di kultur NU, hingga masuk keperguruan tinggi ia memutuskan untuk masuk ke kelompok Salafi dengan alasan Salafi secara metodologis lebih konsisten kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Alasan lain yang membuatnya nyaman dengan komunitas Salafi adalah kesalehan individu dan sosial yang dinilai lebih kental. Aturan ritual ibadah yang digemakan oleh ajaran Salafi membuatnya menjadi lebih disiplin melakukan shalat dan ibadah lainnya.

Contoh serupa dialami oleh infroman dengan inisial DN, ia hidup di kultur NU salah satu ketidak puasannya adalah bahwa NU mengajarkan untuk menjauhi politik, setelah dia masuk ke PT ketidakpuasan tersebut terjawab lewat KAMMI yang tidak hanya mengajarkan dakwah kultural melainkan juga dakwah politik. Menurutnya metode yang paling cocok dalam berislam adalah tarbiyah hingga akhirnya memutuskan untuk masuk tarbiyah.

Setidaknya, dua potret dari sekian banyak yang ada menjawab bahwa nuansa keberagaman yang inklusif diperlukan sebagai penyeimbang untuk ikut berkontestasi menciptakan suasana berislam secara toleran, serta menyebarkan konten-konten keislaman yang kontekstual. Gerakan inklusif ini perlu berkontestasi mengisi ruang-ruang atau lini-lini penting di Perguruan Tinggi.

*) Penulis adalah Dosen dan Peneliti LPPM Unusia

Print Friendly, PDF & Email
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in SUARA

To Top