SUARA
Mekanisme Generatif Dakwah Islam Eksklusif di Kampus
Oleh: Muhammad Nurul Huda, M.Si. *)
Sejumlah riset telah dilakukan untuk memahami perkembangan gerakan ”Islam eksklusif” atau “Islam radikal” di kampus. Kebanyakan riset itu menggunakan metode survei dan berhasil menyajikan angka-angka yang signifikan secara statistik mengenai tren pertumbuhannya.
Tak bisa disangkal betapa berharganya sejumlah riset tersebut untuk memahami sikap atau persepsi keberagamaan insan kampus, khususnya mahasiswa, yang secara umum dianggap semakin mencemaskan belakangan ini. Namun, riset-riset ini masih terbatas dalam memberi penjelasan yang lebih baik mengenai: (1) apa sebetulnya yang memproduksi gerakan itu; dan (2) kondisi-kondisi seperti apa yang memungkinkan perkembangannya di kampus.
Riset LPPM UNUSIA baru-baru ini (2019) mengenai perkembangan “Islam eksklusif” di kampus berupaya mengisi kekosongan tersebut. Riset dilakukan pada delapan perguruan tinggi di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang meliputi: UNY dan UGM di Yogyakarta, UNNES dan UNDIP di Kota Semarang, UNS di Kota Solo, IAIN Surakarta di Sukoharjo, serta IAIN Purwokerto dan UNSOED di Purwokerto. Ini berarti seluruh objek kampus yang dikaji adalah Perguruan Tinggi Negeri (PTN): enam PTN di bawah naungan Kemenristekdikti RI dan dua PTN di bawah Kemenag RI. Adapun yang dimaksud “Gerakan Islam eksklusif” di sini adalah orang atau kelompok orang Islam, organisasi atau gerakan dakwah Islam yang menutup diri terhadap keberagaman pandangan keagamaan, menolak sistem negara-bangsa RI dan/atau prinsip nilai demokrasi serta berupaya menyeragamkan keberagaman tersebut dengan berbagai cara yang berimplikasi pada sikap intoleran atau bahkan tindak kekerasan kepada orang lain yang dianggap berbeda.
Metode, Pendekatan, dan Logika Eksplanasi Saintifik
Riset LPPM menggunakan metode intensif (Andrew Sayer, 1992) dan pendekatan kasus komparatif (Ian Kessler dan Stephen Bach, 2014). Untuk dapat memberi penjelasan ilmiah yang baik, riset ini berupaya menemukan “kekuatan-kekuatan kausal” (causal powers) dalam pengertian “tendensi-tendensi” yang memproduksi gerakan Islam eksklusif di kampus sekaligus perkembangannya. Kekuatan adalah kemampuan sesuatu untuk mengubah yang lain termasuk dirinya sendirinya. Sedangkan tendensi adalah kekuatan sesuatu yang mungkin ada tapi tak diperagakan, atau diperagakan tapi tak memproduksi efek-efek atau gejala, fenomena atau pola peristiwa-peristiwa.
Mengapa hukum kausal/saintifik harus dinyatakan dalam tendensi? Ini karena efek-efek atau fenomena atau peristiwa atau sikap/tindakan sosial yang ditimbulkan oleh suatu kekuatan kausal bersifat kondisional. Di dunia yang terbuka (open system), bukan laboratorium yang terkontrol dan tertutup (closed system), banyak kekuatan kausal atau tendensi di dunia ini yang saling pengaruh-mempengaruhi: entah yang memungkinkan, memudahkan, menfasilitasi, mendorong dan seterusnya atau, sebaliknya, yang membatasi, menghambat, menangkal dan seterusnya terjadinya efek-efek aktual. Tendensi-tendensi dari kekuatan kausal untuk menimbulkan efek atau peristiwa atau sikap/tindakan (disebut “mekanisme generatif”) dimungkinkan berkat kondisi-kondisi transfaktual, yakni dimediasi oleh aktivitas-aktivitas/ketidakaktifan sesuatu yang lain (Bhaskar, 1979, 2008).
Dalam riset ini, Tim LPPM berhasil mengidentifikasi: (a) mekanisme-mekanisme generatif yang sebelumnya tidak diketahui namun memproduksi gerakan “Islam eksklusif” itu dan (b) moda kombinasi atau interartikulasi yang belum diketahui namun memproduksi perkembangan gerakan itu dalam sejumlah konjungtur yang spesifik (kampus-kampus tersebut) berdasarkan mekanisme-mekanisme generatif yang sudah diketahui. Melalui pengenalan terhadap kedua pokok tersebut, suatu eksplanasi ilmiah (scientific explanation) terhadap perkembangan gerakan Islam eksklusif di kampus pada akhirnya dapat terpenuhi.
Mekanisme Generatif Gerakan Islam Eksklusif di Kampus
Apa kekuatan kausal atau mekanisme generatif yang membuat insan kampus, khususnya mahasiswa Islam, bersikap eksklusif atau intoleran? Riset LPPM menemukan bahwa mekanisme generatif dari sikap/tindakan tersebut adalah ”pandangan keislaman tertentu” yang mereka anut, ikuti, pegangi, yakini baik secara individual maupun secara kolektif. Semua muslim memang memegangi pandangan dunia keislaman (Islamic world-view) yang bersumber dari ajaran-ajaran Quran dan Hadist. Akan tetapi, hanya ”pandangan keislaman tertentu” saja, sebagaimana yang akan segera dikemukakan, yang bertendensi memproduksi sikap eksklusif atau tindakan intoleran mahasiswa Islam dengan daya kausal yang mangkus dalam aktivitas-aktivitas publik maupun keseharian.
Pandangan dunia macam apakah itu? Siapa pula pelaku/penganutnya atau “corporate agents”? Berdasarkan riset ini, pandangan keislaman tersebut ialah tipe-tipe pandangan dunia keislaman yang secara umum diilhami oleh ide-ide pemahaman Hassan Al-Banna yang juga pendiri atau inspirator Ikhwanul Muslimin (IM) dan penerusnya Sayyid Qutb, ide-de pemahaman Syekh Taqiyuddin An-Nabhani yang juga pendiri atau inspirator Hizbut Tahrir (HT), dan ide-ide pemahaman Muhammad bin ʿAbd al-Wahhab yang inspirator aliran Wahhabisme.
Ketiga paham ini berkembang di Indonesia melalui pribadi-pribadi pelajar yang menuntut ilmu di tempat-tempat berkembang pesatnya ide-ide tersebut, misalnya Saudi Arabia dan Mesir, namun tidak terbatas pada dua tempat itu, yang sepulang belajar mereka mendirikan organisasi-organisasi atau gerakan-gerakan dakwah Islam baru. Organisasi atau gerakan dakwah Islam kampus (disingkat GDK) yang merupakan perpanjangan organisasional atau generasional dari ketiga ide pemahaman di atas adalah Gerakan Tarbiyah (dalam wadah organisasi KAMMI) yang berafiliasi dengan IM, Gerakan Mahasiswa Pembebasan (Gema Pembebasan/GP) yang berafiliasi dengan HT, dan Gerakan Salafi-Wahabi yang berafiliasi dengan Wahhabisme.
Keyakinan utama penganut Salafi-Wahabi bertumpu pada ide pemurnian (purifikasi) ajaran Islam menurut Quran dan Hadist yang disertai upaya pemberantasan terhadap apa yang mereka anggap bid’ah dan syirik. Tokoh-tokoh Salafi atau para aktifisnya aktif mendakwahkan keyakinan mereka yang “murni” tersebut kepada khalayak (termasuk para mahasiswa muslim di kampus) dengan mendaku diri mereka sebagai “Islam tanpa embel-embel”. Penganut Salafi secara umum terbagi dua: “Salafi akademik” dan “Salafi jihady”, namun yang terakhir ini menekankan pentingnya jihad fi sabilillah dengan tindakan kekerasan sekalipun maupun lewat kekuatan bersenjata.
Adapun ide-ide pemahaman HT secara umum bertumpu pada upaya penerapan Islam secara sempurna (kaffah), yang menurut pendiri dan pengikutnya hanya bisa ditempuh dalam sistem kekhilafahan Islam. Untuk membentuk khilafah, HT membenarkan jihad dalam pengertian perang, mewajibkan umat Islam berperang untuk menjadikan berbagai kawasan menjadi satu kawasan Islam. Demi mencapai cita-cita itu, HT menggagas tiga tahap menguasai dunia: tahap pertama tatsqif atau pengkaderan dan pembentukan kelompok; tahap kedua tafaul atau berinteraksi dengan masyarakat; dan tahap ketiga istilam al-hukm atau meraih kekuasaan.
Sedangkan pandangan dunia keislaman Gerakan Tarbiyah secara umum dibentuk oleh tokoh pendiri IM Hassan Al-Banna dan terutama penerusnya Sayyid Qutb. Sebagaimana pandangan dunia keislaman HT dan Salafi yang menghendaki pemurnian Islam, Gerakan Tarbiyah juga menegaskan kembali kepada Al-Quran dan Hadist secara kaffah sebagaimana yang dipahami dalam ide-ide pendiri dan para tokoh IM. Namun berbeda dari Gerakan Salafi yang apolitis, IM sebagaimana HT menerapkan kaderisasi formal secara bertahap untuk meraih kekuasaan demi tujuan politik Islam yang dicita-citakan.
Karena keterbatasan ruang dan halaman, mengenai agen-agen utama transmisi gerakan-gerakan tersebut di Indonesia biarlah tulisan-tulisan lain yang membahasnya. Artikel ini hanya membatasi diri pada doktrin-doktrin utama yang membentuk pandangan dunia keislaman dari para mahasiswa penganut ketiga GDK yang diteliti.
Berdasarkan uraian terhadap doktrin-doktrin umum tersebut, tendensi eksklusif dan intoleran mahasiswa dari ketiga gerakan dakwah Islam itu terutama berbasis pada kesamaan mereka dalam ide atau keyakinan mengenai “kembali kepada Quran dan Hadist secara kaffah”, “pemurnian ajaran Islam” yang disertai dengan “pemberantasan terhadap apa yang mereka anggap bid’ah dan syirik” dan secara umum “kepemimpinan muslim”.
Penelitian ini menegaskan bahwa ide-ide pemahaman yang ditimba dari para pendiri, para tokoh gerakan dan karya-karya mereka, sejauh diyakini oleh para penganut dan pengikutnya akan membentuk pandangan dunia keislaman mereka dan berimplikasi langsung terhadap sikap eksklusif, bahkan sikap intoleran terhadap yang mereka anggap berbeda. Aktifis Gema Pembebasan UNDIP dan IAIN Surakarta (GP berkembang di PT-PT lain kecuali IAIN Purwokerto), umpamanya, sebagaimana dibuktikan dalam riset ini, meyakini “sistem khilafah Islam” sebagai bagian integral dari penerapan ajaran Quran dan Hadist secara kaffah dan masih mendakwahkannya di lingkungan kampus. Implikasinya adalah mereka menolak negara-bangsa dan prinsip-prinsi nilai demokrasi yang menghormati pluralitas.
Demikian pula Gerakan Tarbiyah yang berkembang pesat di semua perguruan tinggi yang tercakup dalam studi ini. Ia mendominasi lembaga-lembaga dakwah kampus meskipun terdapat beberapa pengecualian. Para aktifis gerakan ini mendakwahkan keyakinan puritan mereka dengan menyerukan kembali Quran dan Hadist kaffah, murni dan tektualis. Mereka menganggap muslim yang tak sehaluan dengan pandangan dunia keislaman yang mereka ikuti sebagai orang-orang yang melenceng, yang tidak sempurna keislamannya. Meskipun mereka menerima negara-bangsa dan sistem demokrasi, namun cita-cita mereka untuk menguasai negara dan lalu mengislamisasi negara dalam bingkai syariat bisa berimplikasi langsung pada sikap eksklusif bahkan intoleran, dan pada akhirnya penolakan terhadap prinsip-prinsip nilai demokrasi itu sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap puritan yang sama, meskipun apolitis, diperlihatkan oleh gerakan Salafi yang juga berkembang di seluruh PT yang dikaji penelitian ini.
Pokok-pokok doktrin dari ketiga gerakan ini penting dikemukakan karena keyakinan atau kepercayaan terhadap ajaran, ideologi atau pandangan dunia keislaman semacam itu adalah alasan (reason) bagi sikap dan tindakan orang atau agen-agen bersifat eksklusif, bertindak intoleran atau bahkan kekerasan. Apa yang menjadi alasan dari sikap atau tindakan eksklusif adalah “kekuatan kausal” yang memproduksi sikap atau tindakan itu. Mengingat pandangan dunia keislaman tertentu sebagaimana yang dikemukakan secara umum berkembang di 8 PTN yang diteliti, maka kekuatan kausal yang sama akan membentuk tipe sikap dan tindakan yang serupa para penganutnya di PTN-PTN tersebut. Soal apakah sikap dan tindakan eksklusif atau intoleran akan teraktualisasi ataukah tidak, ini bersifat kondisional.
Dengan kata lain, realisasi aktual sikap eksklusif atau tindakan intoleran dari ’pandangan dunia keislaman tertentu’ semacam itu bersifat transfaktual, yakni dimediasi oleh aktivitas-aktivitas atau tak terealisasinya aktivitas-aktivitas kekuatan-kekuatan kausal lainnya yang bersifat kondisional. Umpamanya, orang menahan diri dari tindak intoleran atau diskriminatif untuk sementara waktu demi target jangka panjang, atau menunggu peluang yang lebih baik, atau menanti sampai memenangkan sebagian besar kursi parlemen atau posisi jabatan di pemerintahan, atau memanfaatkan situasi yang kacau atau penegakan hukum yang lemah, atau menunggu saat tiadanya resistensi publik, atau adanya teknologi yang memungkinkan anonimitas, dan sebagainya.
*) Penulis adalah Ketua LPPM Unusia Jakarta
Related

You must be logged in to post a comment Login